Ilustrasi. Metrotvnews.com.
Mohamad Farhan Zhuhri • 30 April 2025 23:24
Jakarta: Sekretaris Fraksi PKS DPRD Jakarta M Taufik Zoelkifli sepakat dengan kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang ingin mengirim siswa nakal ke barak militer untuk ikut pelatihan. Ia mengusulkan Gubernur Jakarta Pramono Anung melakukan hal serupa.
Menurut Taufik, pada dasarnya semua pelajar adalah anak yang baik. Namun, karena masih muda, mereka punya energi berlebih yang perlu disalurkan ke kegiatan positif.
"Saya sangat setuju sekali dan sangat mendukung sekali jika para pelajar nakal, dalam tanda kutip lah nakalnya diberikan pelatihan yang sifatnya memang menyalurkan energi fisik mereka ke arah yang positif," ujar Taufik saat dihubungi Rabu, 30 April 2025.
Namun, Taufik memberi catatan agar pelatihan yang diberikan hanya semi militer. Hal ini dilakukan untuk tak memberi kesan pemerintah mengarahkan mereka untuk berkarier sebagai aparat.
"Nah salah satunya kalau misalnya ikut pelatihan militer mungkin bukan militer penuh ya, tapi semi militer kalau militer yang penuh ya tentu saja dia harus berkarir nanti ke ABRI dan seterusnya," ucap Taufik.
Ia berharap Pramono bisa membuat kebijakan berupa pembinaan gaya semi militer kepada para siswa nakal. Dengan pendidikan karakter dan kegiatan positif, ia menyebut siswa nakal tak akan berani lagi melakukan kegiatan negatif.
"Jadi karena memang pelajar masih muda, mereka masih punya kelebihan energi, maka yang memang harus diarahkan adalah energinya itu. nah salah satunya kalau misalnya ikut pelatihan militer," ungkapnya.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menggagas program pembinaan bagi pelajar bermasalah dengan menempatkan mereka di barak militer. Rencananya, kebijakan ini dilaksanakan mulai 2 Mei 2025.
Kebijakan ini sejatinya menuai pro kontra. Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi , misalnya, tak tertarik menerapkan kebijakan itu. Menurut Lutfhi, apabila pelajar bermasalah masih di bawah umur, maka cukup dikembalikan ke orang tua. Sedangkan,
pelajar yang sudah berumur layak ditindak tegas, misalnya terjerat hukum dapat dipidanakan.
"Kalau anak-anak sudah di atas umur, melakukan tindak pidananya. Kita sidik tuntas terkait dengan tindak pidananya. Kan begitu. Ada aturan hukumnya, kenapa harus ngarang-ngarang gitu. Enggak usah," kata Lutfhi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 30 April 2025.
Dipertanyakan para ahli
Rencana Dedi Mulyadi juga dipertanyakan para ahli pendidikan. Pengamat pendidikan Ubaid Matraji menyebut mendisiplinkan siswa dengan cara-cara pendidikan militeristik tidak tepat. Sebab, ada perbedaan antara disiplin militer dengan disiplin sipil.
Menurut dia, secara teori dan praktik, disiplin sipil dan disiplin militer berbeda secara fundamental, baik dalam tujuan, metode, maupun filosofi dasarnya. Tujuan disiplin militer adalah menumbuhkan kepatuhan mutlak terhadap perintah, kesiapan menghadapi situasi ekstrem seperti perang, operasi, dan menjaga hierarki komando.
"Sedangkan, disiplin sipil menanamkan kesadaran diri, tanggung jawab pribadi, dan kepatuhan pada norma sosial atau hukum demi keteraturan masyarakat," ujar Ubaid.
Secara metode, disiplin militer mengandalkan pendekatan
top down, pelatihan fisik keras, hukuman tegas, bahkan fisik, dan struktur komando yang ketat. Sedangkan disiplin sipil menggunakan pendekatan
button up, pembinaan berbasis nilai, dialog, konsistensi aturan, dan penguatan motivasi intrinsik.
Dari segi filosofi dasar, disiplin militer berdasarkan prinsip kepatuhan dan loyalitas mutlak bahwa perintah adalah hukum. Sedangkan disiplin sipil berdasarkan prinsip kesetaraan dan kemandirian moral. Dengan demikian, taat karena mengerti dan sadar, bukan karena takut.
Kritik serupa datang dari Setara Institute. Pendidikan militer yang lebih menekankan pada penggunaan instrumen fisik dan kekerasan dinilai tidak cocok diterapkan di sekolah.
"Pendidikan militer kan sama sekali berbeda dengan pendidikan sipil. Misalnya dalam hal penggunaan instrumen pendidikan kan biasa saja kalau di pendidikan militer itu penggunaan instrumen-instrumen fisik bahkan kekerasan gitu ya. Dan itu berbahaya kalau pola serupa kemudian digunakan di pendidikan sipil," ungkap Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan.