Timbang Ulang Kenaikan PPN, Tarik Pajak dari Orang Kaya!

Ilustrasi. Foto: Medcom.id

Timbang Ulang Kenaikan PPN, Tarik Pajak dari Orang Kaya!

M Ilham Ramadhan Avisena • 29 December 2024 15:28

Jakarta: Pemerintah didorong untuk menimbang kembali tentang penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Penerimaan negara dari kenaikan pungutan itu dinilai tidak sebanding dengan dampak yang dirasakan oleh masyarakat.
 
"Pajak itu yang paling adil adalah PPh (Pajak Penghasilan). Tapi yang diutak-atik lebih banyak itu adalah PPN. Padahal PPN itu kan pajak paling tidak adil," ujar Ekonom Senior sekaligus pendiri Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia Hendri Saparini seperti dikutip dari siniar Gita Wirjawan, Minggu, 29 Desember 2024.
 
Itu karena tarif PPN ditujukan dan diberlakukan kepada semua lapisan masyarakat saat mengonsumsi barang atau pun jasa. Kelompok masyarakat yang paling terdampak negatif dari kenaikan PPN, kata Hendri, adalah kelas menengah ke bawah.
 
Penerapan tarif PPN menjadi 12 persen dikhawatirkan akan mendorong kelanjutan tren penurunan jumlah kelas menengah di Tanah Air. "Tentang menaikkan PPN menjadi 12 persen. Coba dilihat dulu. Sekarang saja kita sampai kelas menengah. Itu mereka bebannya terlalu banyak. Dia kemudian harus turun kelas," kata Hendri.
 
Merujuk laporan Lembaga Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, penaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 dinilai berpeluang memperlebar tingkat kesenjangan di Indonesia.
 
Skenario tersebut dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan dan semakin membebani kelompok-kelompok rentan.
 
Kenaikan beban imbas tarif PPN yang tinggi paling dirasakan oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah. 20 persen kelompok rumah tangga termiskin diperkirakan akan mengalami kenaikan beban sebesar 0,86 persen poin, sementara 20 persen kelompok rumah tangga terkaya mengalami kenaikan beban 0,71 persen poin.
 
Itu selaras jika membandingkan beban PPN selama tarif PPN saat ini sebesar 11 persen terhadap tarif 10 persen selama era covid-19 (2020-2021), beban PPN untuk 20 persen rumah tangga terkaya meningkat sebesar 0,55 persen poin, sementara itu meningkat sebesar 0,71 persen poin untuk 20 persen rumah tangga termiskin.
 
Kenaikan beban paling berat dirasakan oleh rumah tangga yang berada pada persentil ke-20 hingga ke-22, di mana beban mereka meningkat sebesar 0,91 persen poin.
 
Beban PPN meningkat sebesar 0,84 persen poin untuk kelompok termiskin, 0,87 persen poin untuk kelompok rentan, dan 0,61 persen poin untuk kelompok menengah. Sebaliknya, kenaikan beban PPN hanya 0,62 persen poin untuk kelas atas.
 

Baca juga: Pemerintah Diminta Tunda Kenaikan PPN 12%
 

Buru orang kaya

 
Pemerintah diketahui menargetkan tambahan penerimaan negara dari kenaikan tarif PPN sekitar Rp75 triliun di tahun depan. Nilai itu masih lebih kecil jika pemerintah mau memberlakukan pungutan pajak yang lebih besar terhadap orang-orang kaya.
 
Lembaga nonprofit The PRAKRSA menilai pemerintah perlu meningkatkan pajak progresif yang menargetkan individu superkaya atau Ultra High-Net-Worth Individuals (UHNWI).
 
Di Indonesia, jumlah UHNWI terus meningkat dan mereka malah mendapatkan banyak keringanan pajak. The Wealth Report 2024 memproyeksikan pertumbuhan sebesar 34,1 persen, dari 1.479 individu pada 2023 menjadi 1.984 individu pada 2028.
 
Tren itu diperkuat oleh struktur pajak yang lebih menguntungkan pendapatan dari modal seperti keuntungan modal (capital gains) dan dividen, yang umumnya dikenakan tarif pajak lebih rendah dibandingkan penghasilan kerja.
 
Di Indonesia, pendapatan kerja atau PPh dikenakan pajak progresif hingga 35 persen, sedangkan pendapatan pasif seperti dividen atau keuntungan modal hanya dikenakan tarif hingga 25 persen.
 
Selain tarif pajak yang lebih rendah atas pendapatan pasif yang mendominasi kekayaan individu superkaya, mereka juga memanfaatkan strategi penghindaran pajak seperti menunda realisasi keuntungan modal, tidak membagikan dividen, atau menggunakan perusahaan holding untuk mengalihkan keuntungan.


(Ilustrasi penaikan PPN 12%. Foto: Metro TV)
 
Peneliti The PRAKARSA Farhan Medio mengatakan hal itu akan berimplikasi orang superkaya membayar pajak dengan persentase yang lebih kecil dibandingkan masyarakat berpenghasilan menengah dan bawah yang mengandalkan pendapatan aktif yang terus tergerus baik dari PPN maupun PPh.
 
"Kebijakan kenaikan tarif PPN bersifat regresif, di mana kelompok termiskin harus menanggung dampak yang lebih signifikan dibandingkan kelompok kaya. Kebijakan ini juga berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi," ujar Farhan beberapa waktu lalu.
 
"Pengenalan pajak kekayaan (wealth tax) menjadi langkah penting untuk menyeimbangkan beban pajak. Riset The PRAKARSA mengestimasi terdapat potensi tambahan penerimaan negara sebesar Rp78,5 triliun hingga Rp155,3 triliun apabila diberlakukan pajak kekayaan pada individu dengan kekayaan bersih lebih dari USD10 juta (Rp155 miliar) dengan tarif progresif satu sampai empat persen," tambahnya.
 
Menurut Farhan, pajak kekayaan dapat memastikan prinsip keadilan tingkat pajak efektif orang kaya tidak lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya, sekaligus mendukung fungsi redistribusi ekonomi.
 
Dengan melengkapi langkah itu melalui pengetatan aturan penghindaran pajak dan penegakan hukum yang kuat, Indonesia dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih progresif, adil, dan inklusif.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Husen Miftahudin)