Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyoroti keterangan soal bisikan gaib. Hal tersebut dibeberkan dalam kasus pembunuhan ayah dan nenek, oleh remaja 14 tahun di Jakarta Selatan.
Wakil Ketua KPAI Jasra Putra yang juga Koordinator Kelompok Kerja Kesehatan KPAI menggarisbawahi situasi anak-anak terkait hal itu. Menurut dia, anak yang mengalami bisikan gaib adalah situasi puncak hambatan anak dalam berkomunikasi.
“Dalam dunia psikotik, ada istilah wahm atau waham, yang dalam hal ini, anak 14 tahun tersebut mengalami hambatan komunikasi sangat akut, yang akhirnya menghadirkan delusi, dan menjadi gejala yang disebut Skizofrnia," kata Jasra dikutip dari Media Idonesia, Kamis, 5 Desember 2024.
Menurutnya, anak anak seperti itu bisa lebih buruk lagi situasinya ketika tidak mendapatkan layanan kejiwaan yang layak. Termasuk, obat obatan, dan ruang khusus lainnya, serta pemenuhan gizi jiwa mereka.
"Ujungnya anak tidak bisa membedakan antara kenyataan dan apa yang di bayangkan,” kata Jasra.
Hal itu bisa jadi akumulasi pengalaman buruk atau pernah mengalami peristiwa tertentu yang terus terbawa hingga kini dan membawa ganguan serius.
Jasra mengatakan bahwa keluarga punya tantangan dalam penanganan sehari-hari dalam merespons kondisi jiwa anak. Namun, sejauh mana keluarga mampu memenuhi kebutuhannya, itu yang sering kali menjadi permasalahan lebih serius.
DI sisi lain, pembiayaan layanan kesehatan jiwa yang layak cukup tinggi. “Untuk konsultasi yang layak ada biaya sekitar Rp800 ribu hingga Rp1 juta. Kabar dari teman-teman apoteker, setiap hari mereka harus minum pil yang hitungannya selama sebulan seharga Rp4 juta,” ungkapnya.
Keluarga yang menghadapi salah satu anggota keluarga seperti ini, lanjut Jasra, terkadang sulit menjelaskan kepada orang lain. Di sisi lain ada dilema untuk mencari bantuan.
Anak-anak atau orang yang mengalami ini juga seringkali menjadi incaran kejahatan dunia digital. “Mereka diperas di sana. Orang tuanya sering bingung menghadapi permintaan anak, sangat dilema antara menuruti karena tak kuasa menghadapi atau melarang dan akan menambah situasi buruk dalam kejiwaan anak,” papar Jasra.
“Salah satu kasus yang pernah terlaporkan, kejahatan digital dengan men-grooming anak melalui video call, meminta transfer untuk pembelian yang ditawarkan. Namun ketika orang tua melarang, anak mengambil pisau,” imbuhnya.
Jasra mengatakan sebenarnya banyak metode yang diperkenalkan ahli psikologi anak, psikologi forensik, psikiatri, ahli kejiwaan dalam mengajak anak mendapatkan pemulihan terbaik. Dia meyakini kepolisian melibatkan para ahli untuk mengungkap motif dari perilaku anak.
“Namun KPAI juga menyarankan agar ada pendampingan menetap, baik atas figur atau pendamping, tempat yang nyaman, tingkat keamanan di pertimbangkan. Karena bisa terjadi hal hal buruk diluar perkiraan, akibat peristiwa yang tak pernah bayangkan akan terjadi,” pungkasnya.