Ilustrasi. Foto: Dok MI
Eko Nordiansyah • 22 October 2025 10:05
Jakarta: Para ekonom terbelah pandangannya mengenai arah kebijakan BI-Rate, apakah bakal dipertahankan di level 4,75 persen atau diturunkan menjadi 4,50 persen, menjelang pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada Rabu ini.
Kepala Ekonom BCA David Sumual memproyeksikan bank sentral Indonesia akan menahan suku bunga acuan (BI-Rate) pada Oktober ini, setelah pada bulan-bulan sebelumnya sudah melakukan front loading sebelum suku bunga The Fed turun.
"Outflow juga cukup besar terjadi di instrumen SRBI dan SUN dalam sebulan terakhir," kata David di Jakarta, dilansir dari Antara, Rabu, 22 Oktober 2025.
Namun demikian, ia menilai masih terdapat potensi penurunan pada akhir tahun apabila rupiah stabil dan menguat, serta The Fed melanjutkan kebijakan penurunan suku bunga.
Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky juga memiliki pandangan serupa. Ia mencatat bahwa penurunan suku bunga The Fed biasanya menarik modal ke negara berkembang, namun kali ini tidak terjadi.
Arus keluar modal dari Indonesia justru meningkat, dipengaruhi kombinasi faktor eksternal dan domestik, meski menurutnya faktor domestik memiliki peran lebih besar.
Dalam sebulan terakhir, investor asing membukukan aksi jual bersih surat utang pemerintah senilai USD1,88 miliar antara 17 September hingga 17 Oktober 2025.
Kondisi ini turut menekan nilai tukar rupiah ke level Rp16.577 per USD per 17 Oktober 2025, melemah 3,05 persen secara year to date (ytd). Bank sentral merespons dengan langkah stabilisasi, yang membuat cadangan devisa menurun menjadi USD148,7 miliar.
Meski inflasi masih terkendali, tekanannya diperkirakan meningkat menjelang akhir tahun. Riefky pun menilai, menjaga suku bunga acuan tetap di level 4,75 persen akan membantu meredakan tekanan terhadap rupiah sekaligus memperkuat persepsi independensi Bank Indonesia.
Baca Juga :
(Ilustrasi. MI/Ramdani)
Di sisi lain, Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede berpandangan bahwa terdapat peluang bagi BI untuk menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) ke 4,50 persen. Ruang kebijakan tersebut terbuka karena inflasi inti tetap terkendali dan tingkat suku bunga riil masih cukup tinggi.
Di sisi lain, permintaan domestik belum sepenuhnya pulih, tercermin dari pelemahan keyakinan konsumen, sehingga penurunan suku bunga dapat membantu mendorong konsumsi dan kredit.
Likuiditas perbankan yang membaik juga membuat transmisi kebijakan moneter semakin efektif, memungkinkan penurunan bunga lebih cepat tersalurkan ke sektor riil.
Sementara itu, tekanan terhadap rupiah relatif terjaga berkat surplus neraca perdagangan, intervensi BI di pasar spot dan DNDF, serta faktor revaluasi cadangan devisa, yang memberikan ruang lebih aman bagi penyesuaian suku bunga.
Hal senada juga disampaikan Kepala Departemen Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman.
Di samping inflasi yang masih terjaga, menurutnya, keputusan penurunan BI-Rate tidak akan menimbulkan kejutan karena pasar keuangan domestik sudah menyesuaikan ekspektasinya terhadap potensi pemangkasan ringan.
Dengan adanya stimulus fiskal tambahan di kuartal IV, pelonggaran moneter ringan justru akan memperkuat daya dorong permintaan agregat dan mendukung pemulihan intermediasi perbankan yang masih tertahan di kisaran pertumbuhan kredit 7-8 persen year on year (yoy).
“Dengan demikian, BI idealnya memangkas suku bunga 25 bps ke 4,50 persen, karena ruang inflasi aman dan transmisi kredit butuh dorongan. Risiko outflow tetap ada, tapi manageable bila diimbangi dengan intervensi valas yang terukur. Namun bila rupiah kembali tertekan, pause sejenak juga bukan langkah keliru karena kredibilitas stabilitas tetap prioritas utama,” kata Rizal.