Ilustrasi. Medcom.id.
Jakarta: Ide Presiden Prabowo Subianto mengenai pengampunan koruptor asal mengembalikan hasil korupsi dinilai memerlukan revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Beleid yang berlaku saat ini tak menghapus proses pidana pelaku tipikor meski mengembalikan hasil korupsi ke negara.
"Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31/1999 jo Undang-Undang Nomor 20/2021 (tentang Tipikor) disampaikan bahwa pengembalian kerugian keuangan atau perekonomian negara itu tidak menghapus pidana," ujar peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman kepada Media Indonesia, Jumat, 20 Desember 2024.
Artinya, kata dia, tersangka maupun terdakwa kasus korupsi tetap akan diproses hukum meski mengembalikan hasil korupsinya. Namun, Zaenur tidak memungkiri bahwa pengembalian uang hasil korupsi berpotensi mengurangi tuntutan dari jaksa atau vonis yang dijatuhkan hakim di persidangan.
"Bisa menjadi alasan yang meringankan karena itu bentuk sikap kooperatif," ujarnya.
Zaenur berpendapat pengampunan terhadap koruptor hanya dapat diterapkan jika pelakunya korporasi, bukan individu. Praktik tersebut sudah diterapkan di berbagai negara, salah satunya Inggris dengan mekanisme
deffered prosecution agreement (DPA) alias perjanjian penangguhan penuntutan.
Menurut dia, jika yang dimaksud
Presiden Prabowo bertujuan mengoptimalkan
asset recovery atau pemulihan aset, jalan yang seharusnya dipilih bukanlah memaafkan koruptor, meski sudah mengembalikan hasil korupsi ke negara. Zaenur menyebut yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan pengembalian aset negara yakni lewat revisi UU Tipikor.
"Pemerintah segera melakukan revisi terhadap UU Tipikor untuk mengkriminalisasi
illicit enrichment atau praktik memperkaya diri sendiri secara tidak wajar," papar Zaenur.
Lewat skema
illicit enrichment yang diatur di UU, seorang penyelenggara negara diharapkan bakal berpikir dua kali untuk memperkaya diri sendiri dari uang negara. Sebab, jika didapati terjadi kenaikan harta kekayaan yang tidak wajar, mereka harus melakukan pembuktian terbalik.
"Harus membuktikan secara terbalik asal usulnya. Kalau tidak bisa membuktikan, maka dirampas untuk negara," ujarnya.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menerangkan maksud pernyataan Presiden Prabowo soal memaafkan koruptor yang mengembalikan uang hasil korupsi terkait dengan optimalisasi pemulihan aset. Sebab, sebuah kasus korupsi akan berharkhir pada pengembalian kerugian negara.
Ia menilai, pemulihan aset sejumlah kasus korupsi di Indonesia mulai dipertanyakan publik ketika masuk ke persidangan karena jumlahnya tidak relevan saat proses penyidikan awal.
"Pada saat di-
declare awal dengan saat akhir setelah persidangan ternyata yang disita cuma sedikit karena kerugian keuangan negaranya," kata Habiburokhman.
Menurutnya, Presiden Prabowo menyampaikan hal tersebut dengan gaya pop. Habiburokhman menegaskan pernyataan Prabowo tidak dalam konteks bakal membebaskan pelaku
tindak pidana korupsi, meskipun berpotensi mendapat keringanan hukuman jika bersikap kooperatif.
"Jangan dipelintir, jangan di-framing dengan jahat, bahwa Pak Prabowo akan membebaskan koruptor, enggak mungkin lah," ucap politikus Gerindra itu.