Editorial Media Indonesia: KPK Kini bukan yang Dulu Lagi

Ilustrasi Media Indonesia

Editorial Media Indonesia: KPK Kini bukan yang Dulu Lagi

Media Indonesia • 30 December 2025 05:51

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini jelas bukan KPK yang dulu. Lahir pada 2002, lembaga antirasuah itu telah berusia 23 tahun. Dalam usia yang jika dipadankan dengan manusia telah memasuki fase awal kedewasaan, KPK seharusnya sudah matang, disegani, dan menjadi momok bagi para koruptor.

Dua dekade lebih kiprah KPK semestinya menempatkan lembaga ini pada puncak kepercayaan publik. Bukan lagi dalam tahap belajar memberantas korupsi, melainkan pada posisi memimpin perang melawan kejahatan yang telah lama menggerogoti sendi negara. Namun, realitas hari ini justru memperlihatkan paradoks.

Terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap Aswad Sulaiman, mantan Bupati Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, menjadi penanda yang sulit dibantah. Melalui SP3 yang diterbitkan pada Desember 2025, KPK menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi izin pertambangan yang telah menetapkan Aswad sebagai tersangka sejak 2017.

Secara normatif, langkah itu berlandaskan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU KPK, yang memberi kewenangan penerbitan SP3 apabila penyidikan dan penuntutan tidak rampung dalam waktu paling lama dua tahun. Dengan dasar tersebut, penghentian perkara Aswad dianggap sebagai bentuk kepastian hukum.
 


Namun, kepastian hukum bukan satu-satunya ukuran keadilan. KPK sendiri mengakui ketidakmampuan membuktikan kerugian negara dalam perkara tersebut. Pengakuan itu terasa ironis mengingat saat perkara diumumkan ke publik pada 2017, KPK dengan penuh keyakinan menyebut potensi kerugian negara mencapai Rp2,7 triliun. Angka fantastis itu kini lenyap seketika, hanya oleh selembar SP3.

Situasi tersebut kontras dengan era sebelum revisi UU KPK. Kala itu, SP3 adalah pantangan. Setiap tersangka yang ditetapkan KPK hampir pasti berakhir di kursi terdakwa. Publik pun mafhum, berhadapan dengan KPK berarti bersiap menghadapi vonis penjara. Ketajaman penyidikan dan kelengkapan pembuktian menjadi ciri khas lembaga ini.

Harta hasil korupsi, seberapa pun rapi disembunyikan, nyaris selalu dapat dilacak. Selama masih berada di bawah kolong langit, KPK diyakini mampu menemukannya. Tak mengherankan bila lembaga ini dielu-elukan sebagai simbol harapan rakyat yang muak oleh praktik korupsi.

Kepercayaan publik itu pernah mencapai puncaknya pada 2009, saat konflik 'cicak versus buaya' mencuat. Ketika pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah dijadikan tersangka oleh kepolisian, rakyat turun tangan membela. Padahal, KPK hanyalah lembaga ad hoc, bukan lembaga yang secara eksplisit diamanatkan UUD 1945. Namun, legitimasi moralnya kala itu begitu kuat.

Kini, semua itu tinggal kenangan. Sejak kewenangan SP3 dibuka pada 2019, tercatat 12 perkara dihentikan penyidikannya. Julukan 'Komisi Pemburu Koruptor' atau 'Komisi Penggilas Koruptor' perlahan memudar. Di akar rumput, muncul satire pahit bahwa KPK berubah menjadi 'Komisi Penyelamat Koruptor'.

Sindiran itu bukan tanpa alasan. SP3 pada akhirnya menyelamatkan tersangka dari proses hukum yang seharusnya diuji di pengadilan. Dalam kasus Aswad Sulaiman, KPK mengibarkan bendera putih karena gagal memperoleh alat bukti kerugian negara.

Ilustrasi Media Indonesia

Dari sini, pertanyaan publik menjadi tak terelakkan, yakni apa lagi pembeda KPK dengan Polri dan Kejaksaan? Mengapa negara masih membutuhkan komisi khusus pemberantasan korupsi jika kinerjanya tak lagi berbeda dengan aparat penegak hukum lain?

Jika KPK benar-benar telah menjauh dari jati dirinya, sudah sewajarnya keberadaan dan efektivitasnya dikaji ulang, terlebih di tengah keterbatasan anggaran negara. Namun, jika KPK mampu kembali seperti dulu, yakni tegas, berani, dan tak kompromistis, rakyat niscaya akan kembali berdiri di barisan terdepan untuk membelanya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(M Sholahadhin Azhar)