Jakarta: Baru-baru ini, publik digegerkan dengan keberadaan grup Facebook bernama Fantasi Sedarah, yang diduga menjadi wadah bagi para anggotanya untuk membagikan cerita dan imajinasi seksual yang melibatkan hubungan keluarga.
Fenomena ini sontak menuai kecaman, termasuk dari kalangan tokoh agama dan pemerintah. Menanggapi hal tersebut,
Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan bahwa
fantasi seksual sedarah adalah perbuatan yang dilarang secara mutlak dalam Islam. Fantasi seksual inses merupakan bagian dari zina hati dan dosa besar.
Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
"
Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina yang pasti akan mengenainya. Zina mata adalah dengan melihat, zina telinga adalah dengan mendengar, zina lisan adalah dengan berbicara, zina tangan adalah dengan menyentuh, zina kaki adalah dengan melangkah, dan hati berangan-angan serta bernafsu. Dan kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan semuanya."
Hadis ini menunjukkan bahwa angan-angan (fantasi) bisa termasuk dalam kategori zina hati jika tidak dijaga. Oleh karena itu, membayangkan hubungan seksual dengan mahram, seperti saudara kandung, orang tua, atau anak, adalah perbuatan yang sangat dilarang dalam Islam.
Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah Kemenag, Arsad Hidayat, mengatakan, relasi antara mahram merupakan batas sakral yang tidak boleh dilanggar, baik dalam praktik nyata maupun dalam bentuk glorifikasi atau normalisasi di dunia digital.
“Larangan ini bersifat prinsipil karena menyangkut perlindungan terhadap harkat keluarga dan kelestarian fitrah manusia,” kata Arsad dalam pernyataan, dilansir dari laman
Kemenag, Rabu, 21 Mei 2025.
Selain itu, ia juga menegaskan bahwa Islam secara tegas mengharamkan hubungan seksual maupun pernikahan dengan mahram. Larangan ini bukan hanya bersifat teologis, melainkan juga etis dan sosial.
“Menjadikan relasi mahram sebagai objek fantasi atau hiburan jelas menyimpang dari nilai-nilai syariat dan bertentangan dengan maqashid al-syari’ah, khususnya dalam menjaga keturunan (hifzh al-nasl),” tegasnya.
Arsad menambahkan bahwa larangan ini bukan sekadar persoalan fikih, melainkan bentuk perlindungan terhadap potensi penyimpangan sosial dan psikologis.
“Secara medis, relasi seksual antar-mahram berisiko menyebabkan kelainan genetik. Secara sosial, hal itu menimbulkan trauma, konflik keluarga, bahkan stigma turun-temurun,” tambahnya.
Arsad mengingatkan, jika hubungan seksual antar-mahram terjadi dalam kenyataan, terlebih jika melibatkan unsur paksaan atau anak di bawah umur, maka pelaku dapat dikenai sanksi pidana. Negara tidak akan memberikan toleransi terhadap pelanggaran ini, meskipun dibungkus atas nama cinta, adat, atau kebebasan berekspresi.
“Apa pun bentuknya, entah itu pernikahan, hubungan seksual, maupun eksplorasi fantasi terhadap mahram, semuanya bertentangan dengan prinsip moral, agama, dan hukum. Kita tidak bisa membiarkan ini berkembang tanpa arah,” lanjutnya.