Ilustrasi. Foto: Dok MI
Insi Nantika Jelita • 17 June 2025 12:47
Jakarta: Fixed Income Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Karinska Salsabila Priyatno menilai ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga dalam waktu dekat sangat terbatas.
"Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pekan ini, BI diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuannya," ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa, 17 Juni 2025.
Keputusan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor utama. Nilai tukar rupiah tercatat telah melemah hampir dua persen dari asumsi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), sementara risiko meningkatnya subsidi energi terus membayangi.
Kondisi tersebut berpotensi menahan imbal hasil (yield) surat utang tetap tinggi dan membuat investor lebih berhati-hati, terutama terhadap obligasi berdurasi panjang.
(Gedung Bank Indonesia. Foto: Dok istimewa)
Faktor eksternal persempit ruang penurunan suku bunga
Dari sisi eksternal, ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga oleh The Fed juga mulai bergeser. Meski sebagian besar pelaku pasar sekitar 92,9 persen menurut CME FedWatch masih memperkirakan akan ada penurunan suku bunga pada Desember 2025, proyeksi kisaran target suku bunga sebesar 3,75 hingga 4,00 persen hanya memiliki probabilitas 39,5 persen.
"Ini menunjukkan bahwa arah kebijakan moneter AS kini dipandang lebih hati-hati dan tidak seagresif sebelumnya," ungkap Karinska.
Perubahan ekspektasi tersebut, lanjutnya, mendorong naiknya yield obligasi global, termasuk US Treasury, yang kemudian berdampak pada pasar negara berkembang (emerging markets/EM). Sementara, yield Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia tenor 10 tahun tercatat naik tiga basis poin menjadi 6,753 persen, mengikuti pergerakan yield obligasi AS seiring penyesuaian ekspektasi pasar global terhadap waktu dan skala pelonggaran kebijakan moneter.
Di sisi lain, tekanan juga datang dari dalam negeri. Posisi utang luar negeri Indonesia meningkat menjadi USD431,5 miliar per April 2025, sebagian besar didorong oleh pinjaman sektor publik. Kenaikan ini mencerminkan meningkatnya ketergantungan terhadap pembiayaan luar negeri di tengah tekanan nilai tukar dan inflasi yang masih tinggi.
"Kondisi tersebut semakin mempersempit ruang fiskal pemerintah dan membuat pasar obligasi domestik semakin rentan terhadap dinamika suku bunga global," ungkap Karinska.