Tiga Titik Goyang Republik di Persimpangan Kebijakan Keamanan Baru

Safriady, pemerhati isu strategis. Foto: Dok/Pribadi

Tiga Titik Goyang Republik di Persimpangan Kebijakan Keamanan Baru

27 November 2025 12:23

Oleh: Safriady* 

Ketika Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengumumkan rencana memperkuat pengamanan di Jakarta, Aceh, dan Papua, pernyataan itu langsung menarik perhatian publik. Bukan semata karena penguatan pasukan TNI dilakukan serentak di tiga wilayah yang terpisah jauh secara geografis, tetapi karena langkah ini menunjukkan bagaimana pemerintah menilai arah ancaman keamanan di Indonesia hari ini. Tiga wilayah itu disebut sebagai center of gravity (pusat gravitasi) stabilitas negara yang jika goyah, dapat mengguncang struktur politik nasional.

Pengumuman tersebut muncul di tengah dinamika keamanan yang cepat berubah, intensitas disinformasi yang meningkat, serta konteks politik yang penuh tekanan. Jakarta adalah pusat kekuasaan, Aceh adalah wilayah bekas konflik yang punya memori sejarah panjang, dan Papua adalah daerah yang masih menghadapi tantangan keamanan dan isu politik yang kompleks. Dengan menetapkan ketiganya sebagai prioritas pengamanan, pemerintah mengirim pesan bahwa ancaman terhadap stabilitas negara hari ini tidak lagi tunggal, melainkan berlapis. Langkah ini tentu menimbulkan pertanyaan mengapa tiga wilayah itu? Dan apa konsekuensinya bagi hubungan negara dengan masyarakat? 

Jakarta: Melindungi Jantung Pemerintahan 

Langkah memperkuat pengamanan di Jakarta adalah hal yang bisa dipahami. Ibu kota tetap memegang fungsi politik, administratif, dan simbolik sebagai pusat negara, meskipun IKN mulai dibangun sebagai pusat pemerintahan baru. Jakarta menampung seluruh kantor kementerian, pusat ekonomi, markas besar institusi negara, serta pusat media nasional.

Kerapuhan di Jakarta berarti kerapuhan negara. Tekanan politik, dinamika ekonomi, demonstrasi besar, dan ancaman keamanan non-konvensional termasuk teror, serangan siber, atau sabotase infrastruktur semuanya berpotensi menjadi risiko nasional. Karena itu, pengamanan 360 derajat seperti yang disebutkan Menhan mencakup tiga matra penguatan mobilisasi darat, pengawasan udara, dan pengamanan jalur laut.  
 
TNI tidak hanya menjaga keamanan dalam pengertian tradisional, tetapi juga mendukung stabilitas ruang publik. Ketika Jakarta stabil, keputusan politik dapat berjalan dengan tenang. Sebaliknya, ketika ibu kota tegang, ia memicu efek domino ke seluruh negeri. Namun, memperkuat keamanan di Jakarta juga membawa tantangan: menjaga keseimbangan antara perlindungan dan ruang demokrasi.

Demonstrasi, kritik publik, dan dinamika politik adalah ciri masyarakat terbuka. Negara harus memastikan bahwa kehadiran aparat tidak menciptakan rasa intimidasi, tetapi menjaga agar proses politik berlangsung damai.

Aceh: Damai Tak Selalu Berarti Tanpa Risiko 

Aceh hari ini jauh lebih stabil dibanding dua dekade lalu. Namun damai tidak berarti tanpa tekanan. Pemerintah memandang Aceh sebagai salah satu titik yang tetap perlu dijaga dengan cermat karena sejarah konflik dan dinamika politik lokal yang fluktuatif.

Sejak Perjanjian Helsinki 2005, Aceh menikmati otonomi khusus, partai lokal, dan ruang politik yang lebih luas. Tetapi fragmentasi politik pasca-perdamaian, ketidakpuasan sebagian mantan kombatan, persaingan elite lokal, serta ketidakmerataan pembangunan kerap memunculkan ketegangan.

Langkah Menhan memperkuat keamanan di Aceh adalah upaya memastikan bahwa, dampak kompetisi politik lokal tidak melebar menjadi instabilitas, potensi provokasi tidak meluas, dan ruang-ruang simbolik tidak dimanfaatkan untuk tujuan politik jangka pendek.

Aceh, dengan sejarah panjang konflik, memiliki memori kolektif yang sensitif. Momentum tertentu seperti peringatan lahirnya GAM setiap 4 Desember kadang digunakan sebagai ruang artikulasi politik yang, bila tidak dikelola, bisa memicu ketegangan simbolik antara pusat dan daerah.
 
Kehadiran negara di Aceh melalui penguatan keamanan diharapkan dapat mengurangi risiko gesekan tersebut. Tetapi sebagaimana Papua, pendekatan keamanan di Aceh tidak bisa hanya berbentuk pengerahan pasukan. Aceh membutuhkan penguatan ekonomi, pemerataan pertumbuhan, dan konsistensi implementasi otonomi khusus. Tanpa itu, aparat keamanan hanya menjadi pagar tanpa pondasi.

Papua: Smart Approach dan Tantangan Multi-Dimensi

Papua adalah wilayah paling kompleks dalam konteks keamanan nasional Indonesia. Tantangan yang ada tidak bersifat tunggal, melainkan multilapis: konflik bersenjata aktif, ketimpangan pembangunan, rasa ketidakadilan, faktor geografis yang sulit, hingga narasi politik yang sudah berakar puluhan tahun. 

Karena itu, Kementerian Pertahanan menyebut bahwa pengamanan Papua harus dilakukan dengan smart approach kombinasi antara soft approach, pendekatan teritorial, dan operasi militer yang sifatnya terukur. Pendekatan ini menegaskan bahwa penyelesaian masalah Papua tidak bisa hanya menggunakan kekuatan, tetapi membutuhkan strategi yang mencakup empat hal.

Pertama, penguatan kehadiran negara secara manusiawi. Pembangunan infrastruktur penting di Papua, tetapi lebih penting lagi adalah layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, air bersih, dan kesejahteraan. Pengamanan tidak boleh menghalangi pergerakan masyarakat atau akses mereka terhadap pelayanan publik.

Kedua, mengurangi ruang gerak kelompok bersenjata. Sejumlah wilayah pegunungan di Papua masih menjadi basis konflik. Operasi keamanan di wilayah ini harus tetap menjaga keselamatan warga sipil dan mengutamakan presisi.

Ketiga, membangun kepercayaan masyarakat Papua. Langkah ini bisa dilakukan melalui program teritorial TNI, penguatan pemerintahan daerah, dan pelibatan tokoh adat serta gereja dalam dialog berkelanjutan.

Keempat, mengelola narasi internasional. Papua selalu berada dalam sorotan global. Isu HAM, konflik, dan tuntutan politik kerap mencuri perhatian media asing. Karena itu, pemerintah harus mampu menjelaskan konteks secara faktual dan terbuka, agar Papua tidak menjadi arena diplomasi negatif. Dalam konteks ini, penguatan pengamanan di Papua tidak bisa dilihat sebagai tindakan represif, tetapi sebagai upaya mencegah eskalasi konflik sambil menjaga ruang dialog tetap hidup. 

Mengapa Tiga Wilayah Ini Ditangani Bersamaan?

Langkah pemerintah memperkuat keamanan di tiga wilayah sekaligus menunjukkan bahwa stabilitas nasional hari ini dipandang sebagai struktur dengan tiga penyangga utama, Jakarta - pusat pengambilan keputusan, Aceh - wilayah yang punya sejarah perlawanan dan dinamika politik lokal kuat dan Papua - daerah yang menghadapi konflik aktif dan sorotan internasional. 
 
Tiga wilayah ini merepresentasikan tiga jenis tantangan keamanan berbeda mulai dari Tantangan politik dan urban (Jakarta), Tantangan sejarah dan identitas (Aceh) dan Tantangan konflik bersenjata dan pembangunan (Papua). Dengan pendekatan berbeda untuk tiap wilayah, pemerintah menunjukkan bahwa kebijakan keamanan nasional kini lebih adaptif dan tidak lagi bersifat seragam, tetapi kontekstual.

Bagaimana Dampaknya bagi Publik? 

Penguatan pengamanan biasanya menimbulkan dua reaksi yaitu rasa aman atau rasa cemas. Di Jakarta, masyarakat mungkin melihat langkah ini sebagai bagian dari proteksi terhadap ancaman yang tidak terlihat. Di Aceh dan Papua, respons bisa berbeda, tergantung bagaimana cara aparat berinteraksi dengan warga.

Opini publik akan sangat dipengaruhi oleh cara negara hadir jika kehadirannya dialogis, transparan, dan humanis, maka kebijakan ini akan memperkuat kepercayaan. jika kehadirannya kaku, tertutup, dan koersif, kebijakan ini justru membuka ruang ketegangan baru.

Karena itu, pengamanan seharusnya tidak hanya melibatkan alat negara, tetapi juga hati dan pikiran masyarakat. Di Aceh dan Papua, pendekatan keamanan harus dipadukan dengan komunikasi publik yang berkualitas, pemberdayaan ekonomi, dan penghormatam terhadap identitas lokal. 

Di Persimpangan Kebijakan Keamanan Baru

Penguatan pengamanan di Jakarta, Aceh, dan Papua menunjukkan bahwa Indonesia sedang memasuki fase penting dalam pengelolaan keamanan nasional. Pemerintah tampaknya ingin menghindari reaksi terlambat terhadap potensi ancaman, dan memilih untuk bersikap proaktif.

Pertanyaannya kini bukan apakah Indonesia membutuhkan pengamanan yang kuat semua negara membutuhkannya tetapi bagaimana pengamanan itu dijalankan. Apakah ia mampu menjaga stabilitas tanpa menghalangi kebebasan sipil? Apakah ia mampu melindungi masyarakat tanpa menimbulkan ketakutan? Apakah ia mampu memperkuat negara tanpa mengabaikan suara rakyat? 

Masa depan keamanan nasional tidak hanya ditentukan oleh kekuatan pasukan, tetapi oleh kemampuan negara membangun legitimasi, kepercayaan, dan hubungan yang jujur dengan warganya. Jika penguatan pengamanan di tiga “center of gravity” ini dikelola dengan bijak, ia dapat menjadi fondasi bagi Indonesia yang lebih stabil, lebih kuat, dan lebih inklusif. Jika tidak, ia justru dapat menjadi hambatan baru dalam perjalanan panjang Indonesia merawat persatuannya.
 
*Penulis adalah pemerhati isu strategis

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Misbahol Munir)