Ilustrasi TNI. Foto: MI/Duta
Oleh: Safriady *
Di lingkungan militer, pergantian Panglima TNI selalu menjadi momen yang tidak sekadar administratif. Ia adalah peristiwa strategis yang menentukan arah pertahanan negara, dinamika internal matra, hubungan sipil–militer, hingga pesan politik yang ingin disampaikan presiden. Kini, ketika masa pengabdian Jenderal TNI Agus Subiyanto mendekati usia pensiun normatif, publik kembali menoleh pada Istana, akankah Presiden Prabowo Subianto mempertahankan Agus, atau menghadirkan kejutan dengan memilih figur lain?
Skenario apa pun yang diambil, keputusan ini akan membentuk wajah TNI dan corak politik pertahanan Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Dan seperti banyak keputusan strategis sebelumnya, Prabowo adalah sosok yang dikenal unpredictable sering menyimpan kartu terakhir hingga detik akhir. Inilah yang membuat suksesi Panglima TNI tahun ini menjadi salah satu episode paling menarik dalam politik keamanan Indonesia.
Rotasi Elite Militer Orde Baru
Sejarah mencatat sejumlah penunjukan panglima TNI atau ABRI pada dekade 1970–1980-an, proses suksesi Panglima ABRI tidak pernah benar-benar dapat ditebak bahkan oleh lingkaran elite sendiri. Soeharto dikenal jarang mengisyaratkan pilihannya jauh hari. Ia memegang penuh prinsip surprise and control demi menjaga agar para jenderal tetap menebak-nebak, sehingga tidak ada figur yang tumbuh terlalu kuat dan berpotensi membangun basis kekuasaan independen.
Penunjukan L.B. Moerdani sebagai Panglima ABRI pada 1983 adalah contoh paling mencolok. Nama Moerdani memang dikenal kuat di intelijen dan operasi khusus, tetapi tidak secara otomatis dilihat sebagai kandidat dominan untuk memimpin seluruh kekuatan ABRI. Ketika pengumuman keluar, banyak pengamat terkejut karena Soeharto memilih figur yang memiliki reputasi keras, profesional, dan berpengaruh besar. Tetapi keputusan itu menggambarkan kebutuhan Soeharto pada masa itu menguatkan kembali disiplin internal ABRI dan memperbaiki kapasitas operasi keamanan negara pada masa yang ditandai ancaman domestic dari sisa-sisa gerakan ekstrem, infiltrasi intelijen asing, hingga konflik sosial.
Namun, kejutan terbesar justru terjadi ketika Soeharto mengakhiri era Moerdani sebagai Panglima. Setelah beberapa tahun hubungan keduanya merenggang, Soeharto menunjuk Jenderal Try Sutrisno pada 1988, sebuah keputusan yang banyak dipandang sebagai manuver politik untuk meredam dominasi kelompok Moerdani. Try, yang sebelumnya menjabat Pangkostrad dan dikenal dekat dengan Soeharto, ditunjuk tanpa mengumumkan banyak sinyal awal. Sekali lagi, Soeharto menunjukkan bahwa kendali penuh atas militer hanya dapat dipertahankan melalui politik kejutan.
Secara keseluruhan, penunjukan Panglima ABRI di masa Soeharto dipenuhi kejutan bukan karena prosesnya tidak sistematis, melainkan karena sistem itu sendiri sengaja dirancang untuk mempertahankan supremasi presiden atas militer. Kejutan menjadi instrumen kekuasaan: membuat semua pihak selalu bergantung pada satu figur sentral, menjaga keseimbangan antar-jenderal, dan memastikan bahwa loyalitas menjadi kriteria utama di atas segalanya.
Langkah Prabowo
Penentuan calon Panglima TNI pengganti Jenderal Agus Subiyanto menjadi salah satu keputusan strategis pertama yang dihadapi Presiden Prabowo Subianto. Di tengah ekspektasi publik terhadap arah baru pertahanan Indonesia, Prabowo menampilkan gaya kepemimpinan yang tenang, terukur, dan penuh kalkulasi. Ia tidak membiarkan proses berjalan dengan sorotan berlebihan, tetapi memastikan setiap langkah berada dalam kerangka konsolidasi komando dan reformasi pertahanan jangka panjang.
Sejak menjabat sebagai presiden, Prabowo memahami bahwa suksesi Panglima TNI tidak hanya menyangkut pergantian figur, tetapi juga penentuan arah stabilitas militer lima hingga sepuluh tahun ke depan. Tantangannya sangat jelas: modernisasi alutsista, integrasi pertahanan siber, penguatan postur Indo-Pasifik, dan kesiapan TNI menghadapi operasi masa depan yang semakin multidomain. Karena itu, proses penggantian Agus Subiyanto ia kelola dalam ruang kendali yang tertutup, dengan mempertimbangkan rekam jejak, kecakapan operasional, dan loyalitas institusional para kandidat.
Prabowo tidak membiarkan dinamika politik internal TNI atau spekulasi publik mengambil alih narasi. Ia menegakkan tradisi bahwa Panglima TNI adalah figur profesional yang diputuskan berdasarkan kebutuhan negara, bukan hasil tarik-menarik kekuatan. Dengan pendekatan ini, Prabowo memberikan pesan bahwa kepemimpinan militer harus steril dari kontestasi politik terbuka. Keheningan informasi yang ia jaga bukanlah jarak, melainkan cara mengendalikan suhu politik agar tetap stabil.
Agus Subiyanto di Persimpangan Waktu
Agus Subiyanto, yang naik menjadi Panglima TNI pada akhir 2023, sebenarnya memiliki masa tugas yang relatif singkat jika mengacu pada aturan lama. Namun perubahan undang-undang tentang usia pensiun perwira tinggi membuat posisinya menjadi lebih cair. Aturan baru memungkinkan Panglima TNI bertugas hingga usia 63 tahun. Dengan demikian, meski Agus mencapai usia 58 tahun pada 2025, ia secara regulatif masih sangat mungkin diperpanjang.
Di sinilah ruang manuver politik muncul. Prabowo sebenarnya tidak berada dalam posisi harus mengganti Agus. Tetapi ia bisa memilih melakukannya jika ingin membangun struktur loyalitas baru, menggeser orientasi pertahanan, atau menata kembali keseimbangan antar-matra. Atau, sebaliknya, ia bisa menilai bahwa mempertahankan Agus memberi stabilitas dan kontinuitas pada masa awal pemerintahannya.
Kedua opsi sama-sama sah dan valid dalam perspektif kepemimpinan pertahanan. Namun masing-masing membawa implikasi strategis yang berbeda. Dan di tengah perhitungan inilah publik menangkap sinyal bahwa apa pun yang diputuskan Prabowo sangat mungkin mengandung kejutan.
Kandidat Favorit, Tradisional hingga Figur Kejutan
Di balik diskusi publik yang berkembang, pemilihan Panglima bukan sekadar soal hierarki jabatan ia adalah penanda orientasi keamanan nasional yang ingin ditegaskan pemerintah. Di antara nama yang paling kuat mengemuka, Jenderal TNI Maruli Simanjuntak berada di posisi atas. Menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Maruli menjadi figur favorit dari tradisi panjang bahwa matra darat sering menjadi lokomotif kepemimpinan TNI. Reputasinya dibangun dari pengalaman komando yang luas dan kedekatannya dengan dinamika operasional di lapangan. Di internal TNI AD, Maruli dipandang solid, mampu menjaga kohesi institusi, sekaligus mewakili kesinambungan kepemimpinan.
Jika Presiden memilih Maruli, pesan yang tercermin adalah penegasan kontinuitas. Pilihan ini aman secara politik, mudah diterima parlemen, dan mencerminkan pendekatan stabil yang menempatkan Angkatan Darat sebagai jangkar pertahanan nasional. Namun, keputusan seperti itu juga mengindikasikan bahwa tidak ada perubahan besar menuju prioritas maritim atau udara. Bagi sebagian pengamat, ini akan dibaca sebagai keputusan yang menempatkan kestabilan internal di atas transformasi postur.
Di sisi lain, terdapat Laksamana TNI Muhammad Ali, Kepala Staf Angkatan Laut, yang mengemuka dalam konteks kebutuhan Indonesia memperkuat pertahanan maritim. Indonesia berada dalam lanskap ancaman yang nyata di Laut Natuna Utara, Sulu, hingga dinamika Laut Cina Selatan. Dalam kerangka geopolitik semacam ini, memilih Kasal sebagai Panglima berarti menegaskan poros maritim sebagai prioritas nasional. Ali membawa pengalaman strategis dalam penataan armada, modernisasi kapal permukaan, dan kesiapan operasi laut.
Penunjukan seorang perwira laut juga memiliki dimensi simbolik yaitu membuka ruang yang lebih seimbang bagi AL dalam sistem pertahanan gabungan. AL tidak sesering AD memimpin TNI, dan karena itu pilihan ini menunjukkan inklusivitas matra sekaligus kesiapan pemerintah mempercepat transformasi maritim. Meskipun demikian, keseimbangan internal antara angkatan tetap menjadi faktor sensitif yang harus diperhitungkan.
Nama lain yang turut diperhitungkan adalah Marsekal TNI M. Tonny Harjono, Kepala Staf Angkatan Udara. Dalam era pertahanan modern, ruang udara dan angkasa menjadi domain yang semakin menentukan. Penguatan radar nasional, pengembangan armada tempur multirole, dan intensifikasi patroli udara di kawasan perbatasan merupakan kebutuhan yang terus menguat. Jika Tonny menjadi pilihan, itu menandakan kesadaran Presiden akan urgensi domain udara yang kini memegang peran strategis dalam pencegahan konflik, intelijen, dan pengamanan ruang nasional.
Walaupun AU tidak selalu berada dalam posisi utama dalam tradisi rotasi, peluang Tonny ditentukan oleh seberapa kuat Presiden ingin menegaskan modernisasi jangka pendek TNI dalam spektrum udara. Dalam konteks regional Indo-Pasifik yang semakin dipenuhi teknologi sensor, drone, dan sistem serangan presisi, sinyal semacam ini memiliki bobot strategis tersendiri.
Selain tiga kandidat utama dari posisi KSAD, Kasal, dan Kasau, muncul pula nama yang mulai sering diperbincangkan, Laksdya Erwin S. Aldedharma. Berada satu tingkat di bawah Kasal, Erwin dikenal memiliki rekam jejak komando yang progresif serta keterlibatan dalam operasi gabungan. Usianya relatif muda untuk lingkup perwira bintang tiga, sehingga jika dipilih, ia dapat menjadi simbol regenerasi dalam tubuh TNI. Beberapa negara menjadikan pergantian panglima sebagai momentum menyegarkan doktrin dan memperkenalkan generasi baru pemimpin militer. Jika Erwin dipromosikan terlebih dahulu menjadi Kasal, peluangnya meningkat, terutama jika Presiden ingin menghadirkan sentuhan pembaruan struktural.
Nama lain yang ikut menguat adalah Letjen Kunto Arief Wibowo, figur Angkatan Darat dengan pengalaman komando di berbagai daerah. Kunto bukan sosok yang banyak mencuri perhatian publik, tetapi reputasinya dalam operasi lapangan dan stabilitas regional cukup diperhitungkan. Jika Prabowo memilih Kunto, keputusan itu dapat dibaca sebagai upaya menjaga kepemimpinan AD sekaligus memberikan ruang regenerasi internal. Pilihan semacam ini biasanya muncul jika Presiden menginginkan sosok AD yang kuat, tetapi tidak berasal dari kelompok yang terlalu dominan secara politik.
Di luar nama-nama populer tersebut, kemungkinan munculnya kandidat kejutan tetap terbuka. Karakter kepemimpinan Prabowo selama ini menunjukkan fleksibilitas dalam memilih figur yang dinilai paling cocok dengan kebutuhan strategis. Kandidat kejutan dapat berasal dari struktur komando gabungan seperti Kogabwilhan, Badan Intelijen Strategis, Komando Operasi Udara Nasional, armada AL, atau bahkan Kostrad. Figur semacam ini mungkin tidak banyak dibicarakan publik, tetapi memiliki kapasitas komando gabungan yang selaras dengan arah pembentukan postur TNI masa depan yakni integratif, responsif, dan berorientasi interoperabilitas.
Dalam konteks perubahan geopolitik Asia-Pasifik yang semakin cepat, pemilihan Panglima TNI bukan sekadar keputusan personal, melainkan pesan strategis. Apakah Prabowo ingin mempertahankan kontinuitas darat, mendorong percepatan maritim, menegaskan transformasi udara, atau membuka ruang regenerasi dengan wajah baru semuanya akan terbaca dari nama yang akhirnya dipilih.
Dan sampai momen itu tiba, spekulasi publik akan terus mengemuka. Di antara daftar nama yang sudah santer beredar, ruang kejutan tetap terbuka. Dalam tradisi politik pertahanan Indonesia, keputusan Presiden kerap kali hadir sebagai penanda arah besar kebijakan negara. Pilihan Prabowo terhadap calon Panglima baru akan mencerminkan prioritas utama pemerintah dalam mengamankan masa depan pertahanan Indonesia di tengah dinamika kawasan yang kian kompleks.
Semua Mata ke Istana
Keputusan Prabowo mengenai Panglima TNI tidak hanya menentukan siapa yang akan memegang tongkat komando, tetapi juga menjadi isyarat besar tentang ke mana arah pertahanan Indonesia bergerak menjelang 2030. Dalam konteks perubahan global dari intensifikasi persaingan kekuatan besar, modernisasi militer kawasan, hingga ancaman non-tradisional yang semakin terfragmentasi pemilihan Panglima menjadi representasi sikap strategis negara. Hal inilah yang membuat dinamika menjelang pengumuman kian diperhatikan publik, pengamat, hingga mitra internasional.
Prabowo memahami bahwa setiap calon membawa konsekuensi berbeda. Ia juga menyadari bahwa dunia sedang berada pada fase pergeseran cepat. Teknologi militer berkembang pesat, ancaman menjadi lebih cair, dan dinamika kawasan Indo-Pasifik semakin tidak menentu. Keputusan tentang Panglima TNI tidak hanya menentukan hubungan kerja internal antar-angkatan, tetapi juga berdampak pada kepercayaan mitra internasional, efektivitas diplomasi pertahanan, hingga kesiapan Indonesia menghadapi potensi kontingensi keamanan.
Oleh karena itu, publik kini menunggu dengan rasa penasaran yang bercampur kehati-hatian kejutan apa yang akan disiapkan Prabowo? Apakah ia akan menjaga kontinuitas? Menerobos pakem lama? Mempercepat transformasi? Atau menghadirkan wajah baru yang mencerminkan arah baru pertahanan nasional?
Pilihan tersebut akan menentukan bagaimana TNI bersiap menghadapi tantangan geopolitik hingga 2030, serta bagaimana negara ini menempatkan dirinya dalam arsitektur keamanan kawasan yang terus berubah. Publik tetap menanti dan menyadari bahwa keputusan ini bukan hanya soal pergantian komando, melainkan penanda visi besar tentang masa depan pertahanan Indonesia.[]
*Penulis adalah pemerhati isu strategis