Safriady, pemerhati isu strategis. Foto: Dok/Pribadi
Oleh: Safriady*
Laut Natuna Utara kembali menempati panggung utama dinamika keamanan Indonesia. Selama lima tahun terakhir, kawasan yang menjadi sebagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia itu menghadapi tekanan yang konsisten, terukur, dan berulang dari China Coast Guard (CCG). Pola kehadiran yang terstruktur, durasi yang panjang, serta manuver yang berhati-hati namun tegas, menunjukkan bahwa CCG tidak lagi sekadar aktor penegak hukum maritim China. Mereka telah menjadi instrumen geopolitik yang secara sistematis menantang posisi Indonesia di sektor utara perairan Natuna.
Data Badan Keamanan Laut (Bakamla) menunjukkan kehadiran rutin kapal-kapal CCG seperti CCG 5302, CCG 5305, CCG 5402, CCG 5205, hingga CCG 3306 dalam beberapa bulan terakhir, satu kapal dapat bertahan di wilayah Natuna lebih dari dua minggu sebelum digantikan kapal lain dengan nomor lambung berbeda. Pola rotasi ini menunjukkan disiplin operasi yang tinggi dan strategi unjuk kehadiran (presence patrol) yang tidak pernah benar-benar berhenti. Sementara itu, catatan Bakamla mencatat peningkatan signifikan berbagai anomali aktivitas kapal asing, termasuk aktivitas illegal, unreported and unregulated fishing (IUU Fishing), Ship-to-Ship (STS) transfer ilegal, dan keberadaan kapal penelitian asing.
Lebih jauh, Bakamla mencatat perilaku khas CCG dimana mereka selalu menjaga jarak ketika kapal Bakamla atau TNI AL mendekat, namun tetap bertahan di area ZEE. Mereka tidak mengambil tindakan langsung yang bersifat konfrontatif, tetapi terus menunjukkan bahwa mereka memiliki klaim. Inilah pola operasi yang sering disebut sebagai grey-zone tactic, strategi yang mengaburkan batas antara perang dan damai, antara penegakan hukum dan tekanan geopolitik.
Natuna dan Peta Kepentingan Geopolitik
Laut Natuna Utara bukan sekadar hamparan biru yang luas. Ia adalah simpul ekonomi, jalur energi, dan bagian dari rantai pasok global. Kawasan ini terletak di titik pertemuan Laut China Selatan dan perairan Indonesia, menjadikannya jalur transit strategis sekaligus ruang kontestasi kepentingan.
Industri migas Indonesia, terutama blok-blok yang berada di sekitar Natuna, secara ekonomi vital bagi energi nasional. Sementara itu, China memasukkan sebagian area di wilayah ini dalam klaim nine-dash line, meski secara hukum internasional tidak memiliki dasar.
Kapasitas, Tantangan, dan Realitas Operasional
Sebagai lembaga keamanan laut, Bakamla memikul beban ganda. Di satu sisi, lembaga ini berperan sebagai koordinator keamanan laut, keselamatan, dan penegakan hukum di perairan Indonesia dan yurisdiksi Indonesia. Di sisi lain, Bakamla dituntut menjadi garis depan ketika kapal-kapal asing baik kapal nelayan maupun kapal penjaga pantai memasuki wilayah Natuna.
Di tengah dinamika tersebut, Bakamla menghadapi tantangan serius. Tantangan itu setidaknya muncul dalam empat aspek yaitu regulasi, peralatan, anggaran, dan kewenangan.
Pertama, belum adanya Undang-Undang Keamanan Laut mengakibatkan tumpang tindih kewenangan antar instansi. Keberadaan berbagai lembaga penegak hukum maritim yang memiliki mandat berbeda-beda menyulitkan penerapan konsep
unity of command dan unity of effort. Dalam konteks menghadapi CCG yang beroperasi secara terpusat, terorganisir, dan dengan payung hukum yang kuat fragmentasi ini menjadi kelemahan strategis.
Kedua, keterbatasan alutsista Bakamla membuat kehadiran maritim di wilayah Natuna tidak dapat dilakukan secara konsisten. Kapal patroli yang tersedia masih terbatas untuk operasi jangka panjang. Ketika CCG dapat menghadirkan kapal dengan bobot 3.000 hingga 10.000 ton, Bakamla masih mengandalkan kapal berukuran jauh lebih kecil.
Ketiga, anggaran yang tersedia jauh dari ideal. Biaya patroli laut terutama di area luas seperti Natuna membutuhkan dukungan logistik dan operasional yang besar. Keterbatasan anggaran memengaruhi durasi operasi, frekuensi patroli, hingga modernisasi radar dan sistem pemantauan.
Keempat, kelemahan kewenangan penyidikan mengurangi efektivitas Bakamla dalam menindak pelanggaran hukum. Dalam konteks ancaman CCG, celah kewenangan ini dapat menurunkan daya tawar Indonesia ketika berhadapan dengan kapal asing yang memiliki kewenangan penegakan hukum penuh.
Indonesia tidak memiliki sengketa teritorial dengan China, yang dipertahankan Indonesia adalah hak berdaulat, bukan kedaulatan. Namun masuknya kapal CCG ke ZEE Indonesia adalah tindakan yang secara langsung menguji batas kewenangan negara pantai dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya alamnya. Karena itu, isu Laut Natuna Utara bukan hanya tentang patroli, tetapi menyangkut posisi hukum, kehadiran negara, dan ketegasan dalam mempertahankan hak berdaulat.
Natuna sebagai Episentrum Grey–Zone
Ancaman terbesar dari CCG bukanlah aksi agresi terbuka, tetapi keberlanjutan pola operasi grey-zone. Inti dari taktik ini adalah menciptakan tekanan tanpa memicu konflik. Kapal CCG hadir untuk waktu lama, bergerak perlahan, menjaga jarak, tetapi tetap berada di sana. Kehadiran itu saja sudah cukup memberi pesan bahwa mereka mengklaim area tersebut.
Dalam konteks ini, kapal CCG memenangkan narasi bukan dengan meriam, tetapi dengan waktu. Setiap hari mereka berada di sana tanpa perlawanan berarti, mereka menguatkan persepsi bahwa mereka adalah bagian dari lanskap keamanan kawasan. Karena itu, respons Indonesia harus mengimbangi pola ini dengan kehadiran yang sama konsistennya. Tidak cukup hanya mengirim kapal ketika CCG sudah terdeteksi, tetapi perlu strategi menjaga area secara berkelanjutan. Tanpa kehadiran yang kontinu, ruang kosong (vacuum) akan diisi oleh aktor lain dan dalam konteks Natuna, aktor itu adalah CCG.
Dari Fondasi hingga 2045
Bakamla sebenarnya telah memiliki peta jalan penguatan jangka panjang melalui empat tahapan strategis hingga 2045. Pada tahap pertama (2025-2029), fokusnya adalah memperkuat pondasi sistem keamanan laut, termasuk validasi organisasi, pembangunan fasilitas pengawasan, dan peningkatan kapabilitas patroli. Pada tahap berikutnya (2030-2034 dan 2035-2039), Bakamla berencana meningkatkan kapasitas operasional melalui pembangunan infrastruktur di ALKI I, II, dan III. Modernisasi ini mencakup kapal patroli jarak jauh, radar pemantau, sistem informasi maritim, hingga integrasi data lintas kementerian.
Tahap keempat (2040-2045) menargetkan Bakamla sebagai lembaga dengan kemampuan operasi mandiri dan tata kelola keamanan laut yang efektif. Target ini akan menempatkan Bakamla pada posisi strategis sebagai pilar utama keamanan maritim Indonesia di kawasan Indo-Pasifik. Namun, blueprint ini hanya tidak sekuat implementasinya. Tanpa dukungan politik, anggaran memadai, dan regulasi tunggal yang memayungi keamanan laut, rencana ini tidak akan sepenuhnya optimal.
Natuna Sebagai Barometer Ketegasan Negara
Laut Natuna Utara adalah wajah kedaulatan kita di mata dunia. Keamanan di kawasan tersebut bukan hanya soal ZEE, tetapi juga mengenai bagaimana Indonesia menegosiasikan posisinya dalam tatanan maritim regional. Kehadiran CCG di kawasan ini adalah ujian bagi kesiapan institusi maritim Indonesia dalam menjaga hukum internasional, melindungi sumber daya alam, dan mempertahankan kehormatan negara pantai.
Tantangan yang dihadapi Bakamla mulai keterbatasan alutsista, anggaran tidak ideal, dan regulasi belum memadai. Namun ancaman yang dihadapi juga nyata adalah tekanan grey-zone yang sistematis, rotasi kapal asing yang terencana, dan strategi kehadiran jangka panjang yang dapat mengubah persepsi internasional tentang batas wilayah dan kewenangan. Karena itu, memperkuat Bakamla bukan hanya memperkuat satu lembaga, tetapi memperkuat pertahanan non-militer Indonesia secara keseluruhan. Laut Natuna Utara membutuhkan kehadiran negara yang bukan sekadar simbolis, tetapi konsisten dan terukur.
Pada akhirnya, Natuna adalah garis depan yang tidak boleh diabaikan. Di sanalah Indonesia diuji bukan oleh perang terbuka, melainkan oleh strategi kehadiran yang mampu menggerus otoritas negara jika tidak diimbangi. Keamanan maritim bukan hanya tentang kapal dan radar, tetapi tentang ketegasan politik, fondasi regulasi, dan kemampuan untuk hadir sebelum orang lain memasuki ruang yang sama.
Di perairan inilah, kedaulatan diuji bukan oleh meriam, tetapi oleh waktu dan konsistensi. Dan di perairan ini pula, Indonesia harus memastikan bahwa kehadiran CCG tidak pernah menjadi norma karena begitu kehadiran asing menjadi biasa, maka yang luar biasa justru adalah absennya negara.
*Penulis adalah pemerhati isu strategis