Ilustrasi vonis timpang bagi pengemplang. MI/(Seno)
Media Indonesia • 21 June 2024 06:45
MENJADI pejabat korup di negeri ini sepertinya memiliki keuntungan tersendiri. Sepanjang yang bersangkutan sudah mengembalikan duit panas hasil memeras, vonis hukuman bakal dikorting hingga 50 persen oleh majelis hakim.
Hal itu yang dialami Anggota III nonaktif Badan Pemeriksa Keuangan 2019-2024, Achsanul Qosasi. Dia didakwa menerima suap senilai USD2,64 juta atau setara dengan Rp40 miliar untuk mengondisikan pemeriksaan proyek BTS 4G 2021.
Jaksa menuntut Achsanul 5 tahun penjara serta membayar denda Rp500 juta. Namun, ketua majelis hakim Fahzal Hendri dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta, Kamis, 20 Juni 2024, hanya menjatuhkan vonis 2,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta.
Vonis yang lebih rendah daripada tuntutan itu dijatuhkan karena uang senilai Rp40 miliar tersebut sudah dikembalikan Achsanul pada tahap penyidikan. Achsanul juga dianggap telah menyesali perbuatannya karena menerima fulus secara tidak sah.
Nasib mujur Achsanul tidak dialami seorang terdakwa pencuri telepon seluler, Hendra Suhadi. Dia divonis dengan hukuman 3 tahun 8 bulan penjara oleh Majelis Hakim PN Meulaboh. Padahal, jaksa menuntutnya 2 tahun penjara.
Logika sederhana masyarakat tentu menilai ada ketidakadilan di sini. Kalau maling telepon seluler bisa dikenai ultra petita, atau vonis lebih berat daripada tuntutan, kenapa pejabat korup malah dikorting vonisnya? Kenapa bukan pengemplang duit rakyat yang dijatuhi dengan hukuman seberat-beratnya?
Bukankah korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan sanksi berat guna menimbulkan efek jera? Haruslah diingat korupsi merupakan kejahatan yang merampas hak rakyat, melindas hak asasi manusia, serta melawan kemanusiaan.
Baca Juga:
Achsanul Qosasi Divonis 2,5 Tahun Penjara |