Ilustrasi. Media Indonesia.
Jakarta: Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset telah lama menjadi topik penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, hingga kini, pembahasannya masih terhambat oleh berbagai dinamika politik dan hukum.
Saat ini, pembahasan RUU Perampasan Aset kembali menjadi sorotan. Momentum ini terjadi di tengah percepatan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sedang digodok oleh Komisi III DPR. RUU tersebut digadang-gadang menjadi solusi untuk memulihkan kerugian negara akibat korupsi yang mencapai ribuan triliun rupiah.
Lantas, apa itu RUU Perampasan Aset? Mengapa RUU ini tak kunjung disahkan? Berikut informasinya.
Apa Itu RUU Perampasan Aset?
RUU Perampasan Aset bertujuan untuk memungkinkan negara menyita aset yang diduga berasal dari tindak pidana, bahkan tanpa perlu menunggu putusan pidana terhadap pelaku (
non-conviction based asset forfeiture).
Langkah ini dianggap penting untuk mempercepat pemulihan kerugian negara akibat kejahatan seperti korupsi dan pencucian uang.
Meskipun telah diajukan sejak tahun 2008 dan mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah yang mengirimkan surat presiden (surpres) pada Mei 2023, RUU ini belum masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Sebaliknya, RUU ini hanya tercantum dalam long list Prolegnas Jangka Menengah 2025–2029, yang berarti pembahasannya tidak menjadi prioritas dalam waktu dekat.
Alasan Penundaan RUU Perampasan Aset
Beberapa alasan dikemukakan terkait penundaan ini:
1. Kekhawatiran Penyalahgunaan
Beberapa anggota DPR khawatir bahwa perampasan aset tanpa putusan pengadilan dapat disalahgunakan dan melanggar hak asasi manusia.
2. Isu Sensitivitas Politik
Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas memandang pembahasan RUU Perampasan Aset menyangkut persoalan politik yang memerlukan pembahasan lebih mendalam dengan berbagai pihak terkait. Untuk saat ini, pemerintah masih terus mengupayakan agar RUU tersebut menjadi pembahasan prioritas oleh DPR.
3. RUU Perampasan Aset Masih perlu kajian
Karena masih perlu kajian, RUU ini masuk dalam long list prolegnas jangka menengah 2025-2029.