Singgung Isu Tata Kelola AI di Forum MIKTA, Puan Serukan Keadilan dan Bantuan Bagi Negara Berkembang

Ketua DPR Puan Maharani berbicara soal transisi energi dan tata kelola teknologi artificial intelligence (AI) dalam sesi 11th MIKTA Speakers' Consultation 2025 yang digelar di Seoul, Korea Selatan. Dok. Istimewa

Singgung Isu Tata Kelola AI di Forum MIKTA, Puan Serukan Keadilan dan Bantuan Bagi Negara Berkembang

Achmad Zulfikar Fazli • 12 November 2025 14:44

Jakarta: Ketua DPR Puan Maharani berbicara soal transisi energi dan tata kelola teknologi artificial intelligence (AI) dalam sesi 11th MIKTA Speakers' Consultation 2025 yang digelar di Seoul, Korea Selatan. MIKTA, yang terdiri dari Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia, merupakan negara-negara middle power atau kekuatan menengah. 

MIKTA Speakers' Consultation merupakan forum konsultatif antara Ketua Parlemen anggota MIKTA. Kehadiran Puan merupakan undangan agenda kenegaraan. Forum ini merupakan acara tahunan di mana pemerintah juga memiliki agenda yang sama.

Pada Sesi II MIKTA Speakers' Consultation ke-11 yang bertajuk ‘The Role of Parliament in Ensuring The Just Energy Transition in the Era of AI and Climate Crisis’,
Puan menjadi pimpinan Parlemen pertama yang menyampaikan pandangannya.

Mulanya, Puan bicara tentang transisi negara yang berkeadilan dan berpihak pada rakyat. Dia menegaskan perang dan persaingan geopolitik tidak boleh mengalihkan negara dari agenda global yang sebenarnya. Di mana negara harus menstabilkan iklim, memastikan transisi energi yang adil, dan menutup kesenjangan pembangunan. 

"Transisi menuju energi bersih tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga sosial dan politik," kata Puan, dalam sambutannya di Seoul, Rabu, 12 November 2025. 

Menurut Puan, transisi yang dikelola dengan buruk akan memperdalam ketimpangan di dalam dan antarnegara. Sehingga, Indonesia memandang transisi energi yang adil sebagai sebuah paket yang harus mencakup masyarakat. 

"Ketika pembangkit listrik tenaga batu bara tutup, para pekerja kehilangan pekerjaan. Ketika industri bergeser, ekonomi lokal menderita. Ketika harga energi naik, masyarakat termiskinlah yang pertama menderita,” jelas dia.

“Jika kita tidak mengelola transisi ini dengan cermat, kita tidak akan mencapai transisi yang ramah lingkungan. Kita justru akan mendapatkan ketegangan sosial dan ketidakadilan," lanjut Puan. 
 

Baca Juga: 

Transformasi Digital ASN Didorong Lewat Konten Pembelajaran Berbasis AI


Puan menegaskan transisi yang mengabaikan masyarakat tidaklah adil, dan dalam jangka panjang tidak akan berkelanjutan. 

Mantan Menko PMK RI itu menyatakan Indonesia mengakui artificial intelligence (AI) sebagai teknologi strategis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di masa depan, meskipun permintaan energinya tinggi. Puan juga menilai, AI dapat berkontribusi langsung pada tujuan pembangunan berkelanjutan. 

"Indonesia secara konsisten menyerukan kerja sama internasional dalam tata kelola AI yang inklusif, berpusat pada manusia, dan adil bagi negara-negara berkembang," ujar dia.

"Kami menyadari peluang AI untuk mempercepat pembangunan, dan bahaya yang dapat ditimbulkannya, yaitu kesenjangan teknologi yang semakin dalam antara negara kaya dan miskin," sambung Puan.

Untuk memastikan transisi yang adil dan inklusif, Puan menekankan parlemen harus terlebih dahulu menetapkan arah yang jelas. Puan menilai Parlemen harus mengesahkan peraturan yang mendefinisikan jalur energi jangka panjang, memberikan kepastian hukum bagi investasi energi terbarukan, dan melindungi pekerja serta masyarakat terdampak.

Puan juga mengingatkan agar parlemen harus mendengarkan. Menurutnya, transisi yang adil tidak dapat dirancang hanya oleh kementerian dan para ahli di ibu kota, tetapi juga mendengarkan semua aspirasi masyarakat. 

Parlemen pun dinilai harus menganggarkan dan mengawasi secara efektif. Puan menyebut, tidak ada transisi yang kredibel tanpa biaya. 

"Kita memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pendanaan untuk transisi tidak lenyap dalam birokrasi, tetapi menjangkau pekerja, pemerintah daerah, dan warga negara yang diminta untuk beradaptasi," sebut perempuan pertama yang menjabat sebagai ketua DPR RI itu. 



Di sisi lain, Puan mendorong parlemen MIKTA untuk memastikan akuntabilitas dalam teknologi. Dia menuturkan AI memasuki tata kelola, termasuk pekerjaan parlemen. 

"Sebagai anggota parlemen, kita harus menetapkan batasan: bagaimana data dikumpulkan dan digunakan; bagaimana bias dikelola; bagaimana akuntabilitas tetap berada di tangan manusia yang terpilih. Kita juga harus mempertahankan inklusi digital agar AI tidak menjadi hak istimewa segelintir negara dan segelintir kelas sosial," tutur Puan.

Puan mengingatkan pergeseran menuju energi bersih tidak boleh mengabaikan kelompok rentan. Dia menilai, memperluas akses energi, memastikan keterjangkauan, dan menyediakan dukungan kesejahteraan bagi populasi yang kurang beruntung bukanlah isu sampingan, tetapi semuanya merupakan bagian dari apa yang melegitimasi transisi ini. 

Oleh karenanya, negara MIKTA didorong untuk mengadvokasi pendanaan konsesi yang lebih kuat, keringanan utang jika sesuai, dan mekanisme pembagian risiko untuk menarik modal swasta ke energi terbarukan dan jaringan listrik, terutama di negara-negara berkembang dengan ruang fiskal terbatas. 

"Kita harus terus menyerukan peningkatan kapasitas, transfer teknologi, dan model pembiayaan yang memungkinkan negara-negara berkembang mengadopsi energi bersih dan menerapkan AI untuk pembangunan," ujar dia. 
 
Baca Juga: 

Buka Simulasi Sidang Parlemen Remaja 2025, Puan Ungkap Dinamika Politik DPR ke Calon Wakil Rakyat


Puan memandang guncangan iklim sudah terjadi, sistem energi sudah berada di bawah tekanan, dan AI telah membentuk ekonomi masyarakat secara langsung. Jika parlemen tidak memimpin sekarang, menurutnya, transisi akan tetap terjadi, tetapi tidak akan adil. 

"Pandangan Indonesia sederhana: transisi menuju energi yang lebih bersih harus memberikan keadilan, ketahanan, dan martabat. AI harus dikelola dengan cara yang memberdayakan masyarakat. Dan manfaatnya harus dibagi, bukan dipusatkan," ungkap Puan. 

"Indonesia berharap dapat terlibat secara konstruktif dengan semua mitra MIKTA untuk menerjemahkan prinsip-prinsip bersama menjadi tindakan. Jadi, masa depan yang kita bangun tidak hanya lebih hijau dan lebih cerah, tetapi juga lebih adil dan lebih manusiawi. Bagi kami, inilah kepemimpinan parlemen yang inklusif," sambung dia. 

Di sela-sela acara, Puan mengikuti jamuan makan siang dari Ketua Majelis Nasional Republik Korea, H.E. Woo Won-shik yang memegang keketuaan parlemen MIKTA tahun ini. Puan mengikuti jamuan makan siang dari parlemen Korsel bersama dengan Ketua Parlemen Australia.

Pada kesempatan tersebut, Puan menyampaikan terimakasih atas sambutan Parlemen Korea Selatan. Dia berharap persahabatan Indonesia-Korea Selatan serta dengan seluruh anggota MIKTA bisa terbangun tidak hanya di dalam konferensi. 

"Atas nama delegasi Indonesia, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus atas keramahan Anda. Jamuan makan siang ini mengingatkan kita bahwa persahabatan antar parlemen tidak hanya dibangun di ruang konferensi, tetapi juga melalui momen-momen bersama seperti ini," kata Puan. 

"Indonesia sangat menghargai kepemimpinan Korea dalam menyelenggarakan pertemuan MIKTA ini dengan penuh perhatian dan visi,” tambah dia.

Puan juga mengajak agar parlemen MIKTA memperkuat dialog. “Hal ini agar MIKTA tetap menjadi jembatan kerja sama, yang mendorong perdamaian, kesejahteraan, dan kemajuan bersama di antara bangsa kita. Sekali lagi terima kasih atas sambutan dan kemurahan hati Anda," ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)