Ilustrasi. Medcom.id
Achmad Zulfikar Fazli • 27 September 2024 23:54
Jakarta: Jaksa dinilai tidak memiliki kewenangan menjadi penyidik kasus tindak pidana korupsi (tipikor). Lembaga yang dianggap berhak menangani kasus tipikor hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian.
Hal itu disampaikan dosen hukum pidana Universitas Wisnuwardhana Malang, Sigit Budi Santoso, yang menyoroti soal kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik tipikor sejak 2015, melalui jurnal berjudul 'Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidikan Tindak Pidana Korupsi'.
Sigit mengatakan jurnal tersebut masih relevan. Sebab, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, tidak ada kewenangan Kejaksaan menangani Tipikor.
Sigit menjelaskan awalnya Kejaksaan memang memiliki kewenangan melakukan penyidikan tipikor. Pada Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 1961 tentang Kejaksaan menyatakan Kejaksaan mempunyai tugas mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran, serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam UU Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara.
Hukum acara pidana yang berlaku pada saat itu, kata Sigit, adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik diatur dalam UU 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tipikor.
Dalam perjalanan waktu, kata dia, UU Tipikor Nomor 24/Prp/1960 diganti dengan UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tipikor. Dalam UU itu, Kejaksaan masih memiliki kewenangan sebagai penyidik tipikor.
Kemudian, diundangkan KUHAP pada 1981 yang menyatakan tidak berlakunya ketentuan-ketentuan dalam HIR sepanjang menyangkut hukum acara pidana. Bahkan, KUHAP memisahkan secara tegas antara fungsi penyidikan yang dijalankan pejabat Polri atau PNS tertentu dengan fungsi penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim yang dijalankan oleh Jaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 6 KUHAP.
"Dengan demikian, jelaslah jaksa tidak memiliki kewenangan lagi sebagai penyidik, karena KUHAP menghendaki pemisahan yang tegas antara fungsi penyidikan dan fungsi penuntutan," kata Sigit, Jakarta, Jumat, 27 September 2024.
Sigit mengatakan pada 1991, diundangkan UU Kejaksaan yang baru Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. UU Kejaksaan itu menegaskan fungsi jaksa sama seperti fungsi jaksa dalam KUHAP, yaitu sebagai penuntut umum.
Pada Pasal 1 Angka 1 UU Kejaksaan Nomor 5 Tahun 1991 menegaskan jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU ini untuk bertindak sebagai penuntut umum, serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, kata Sigit, berdasarkan UU Kejaksaan, jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik. Kewenangan jaksa sebagai penyidik tipikor sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 seharusnya dianggap tidak ada lagi.
Pada 1999, diundangkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Dalam UU itu, sudah menegaskan jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik Tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 26.
Namun, kata Sigit, persoalan kewenangan itu menjadi rancu kembali dengan adanya ketentuan Pasal 27 dan Pasal 39 UU Tipikor. Kedua pasal itu sebagian orang menafsirkan jaksa masih memiliki kewenangan sebagai penyidik tipikor.
Sementara itu, pada Pasal 27 UU Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan dalam hal ditemukan tipikor yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Pada Pasal 39 menyatakan Jaksa Agung mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tipikor yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.
Namun, pada penjelasan Pasal 27 UU Tipikor menyatakan yang dimaksud dengan tipikor yang sulit pembuktiannya antara lain tipikor di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang bersifat lintas sektoral, dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih, atau dilakukan oleh tersangka atau terdakwa yang berstatus sebagai penyelenggara negara sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
"Mengoordinasikan di sini sesuai arti kata asalnya adalah mengatur secara baik agar lebih terarah, namun tidak melakukan penyidikan itu sendiri," jelas Sigit.
Selanjutnya, pada 2002, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK diterbitkan. Salah satu Pasal di bagian ketentuan penutup, yakni Pasal 71 Ayat 1 menyebutkan UU sebelumnya dinyatakan tidak berlaku.
"Bahkan kewenangan Jaksa Agung untuk mengoordinasi, itu kan dihapus dengan UU KPK dinyatakan tidak berlaku. Jadi, mana sisanya yang beri kewenangan Jaksa? Enggak ada," tegas Sigit.
Pada Pasal 42 UU KPK menyatakan KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tipikor yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Kemudian, keluar UU Kejaksaan yang baru, yakni UU Nomor 16 Tahun 2004. UU Kejaksaan ini memberikan lagi kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan. Namun, tidak disebutkan Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan Tipikor.
"Sekalian UU Kejaksaan 16/2004 memberikan kewenangan kepada jaksa sebagai penyidik tindak pidana tertentu berdasarkan UU, namun analisis secara yuridis normatif pada uraian-uraian sebelumnya telah membuktikan bahwa sejatinya jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi. Mestinya untuk korupsi yang berwenang adalah KPK dan Polri, Kejaksaannya sudah enggak," ujar Sigit.