Transaksi dengan dompet digital. Foto: QRIS.
Riza Aslam Khaeron • 21 December 2025 17:51
Jakarta: Sebuah video viral di media sosial memantik perdebatan soal kewenangan pelaku usaha dalam menentukan metode pembayaran. Video tersebut memperlihatkan seorang pria membela seorang nenek di gerai Roti’O karena tidak bisa membeli makanan lantaran hanya membawa uang tunai, sementara toko tersebut hanya menerima pembayaran nontunai melalui QRIS.
"Uang tunai itu kan harus kalian terima, masa harus QRIS. Nenek-nenek itu kan nggak ada QRIS-nya, gimana?" ujar pria itu dalam video yang diunggah akun TikTok @arlius_zebua. Pihak Roti’O kemudian memberi klarifikasi bahwa kebijakan non-tunai diterapkan demi kemudahan transaksi dan pemberian promo bagi pelanggan setia.
Peristiwa ini mengundang simpati luas. Banyak warganet menilai bahwa toko tetap wajib menerima pembayaran tunai, terutama karena kelompok lansia kerap tidak memiliki akses atau literasi terhadap sistem pembayaran digital.
Namun ada pula yang membela kebijakan toko atas dasar efisiensi dan hak menentukan sistem operasional.
Di Indonesia, praktik yang membatasi pembayaran ini sebenarnya dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011.Lantas bagaimana dengan negara-negara lain? Apakah praktik cashless-only dilarang di negara luar Indonesia? Berikut daftar-daftar negara yang mengilegalkan praktik tersebut.
Pemerintah Belgia secara tegas melarang penolakan terhadap uang tunai. Otoritas ekonomi menyatakan bahwa pembayaran tunai tidak boleh ditolak dalam keadaan apa pun, meski tetap diberlakukan aturan teknis seperti pembulatan dan proporsi pecahan.
Sejak 1 Juli 2022, pelaku usaha juga diwajibkan menyediakan minimal satu metode pembayaran elektronik.
Di Prancis, penolakan uang tunai diatur sebagai pelanggaran dalam Code pénal Pasal R642-3. Setiap pelaku usaha yang menolak menerima uang kertas atau koin euro sebagai alat pembayaran sah dapat dikenakan sanksi denda. Aturan ini berlaku di berbagai sektor dengan pengecualian terbatas.
Spanyol memasukkan penolakan pembayaran tunai sebagai pelanggaran dalam regulasi perlindungan konsumen. Berdasarkan Real Decreto Legislativo 1/2007, toko atau pelaku usaha tidak boleh menolak pembayaran tunai, selama masih berada dalam batas ketentuan perpajakan dan pencegahan kecurangan.
Denmark memiliki aturan cash rule yang mewajibkan toko fisik yang beroperasi dengan petugas dan menerima pembayaran elektronik untuk tetap menerima uang tunai. Pengecualian berlaku untuk perdagangan online, mesin swalayan tanpa staf, serta waktu operasional malam (pukul 22.00–06.00) dan area dengan risiko tinggi kejahatan.
| Baca Juga: Viral Nenek Ditolak Bayar Tunai, Bolehkah Toko Batasi Cara Bayar? |
Norwegia memperjelas hak konsumen untuk membayar dengan uang tunai melalui amandemen Financial Contracts Act.
Konsumen wajib diberi pilihan membayar tunai di tempat usaha yang menyediakan metode pembayaran lain. Ketentuan ini berlaku sejak 1 Oktober 2024, dengan pengecualian untuk mesin otomatis, tempat tanpa petugas, dan transaksi di atas 20.000 kroner.
Bank Sentral Tiongkok (People’s Bank of China) menegaskan bahwa Renminbi (RMB) adalah alat pembayaran sah. Penolakan terhadap uang tunai dianggap ilegal dan menjadi sasaran penindakan. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi akses finansial kelompok rentan dan mencegah diskriminasi digital.
Australia menerapkan kewajiban menerima uang tunai secara sektoral. Mulai 1 Januari 2026, pelaku usaha di sektor-sektor tertentu seperti ritel besar dan SPBU wajib menerima pembayaran tunai untuk transaksi tatap muka, hingga nilai tertentu. Usaha kecil mendapat pengecualian, dan pemerintah memberlakukan mekanisme sanksi bertahap.
Kebijakan anti-cashless-only di negara-negara di atas tidak bersifat absolut. Umumnya terdapat pengecualian berdasarkan konteks seperti transaksi daring, keterbatasan teknis, atau alasan keamanan.
Namun, benang merahnya sama: negara berkepentingan memastikan uang tunai tetap dapat digunakan oleh semua lapisan masyarakat, terutama kelompok yang belum siap beralih ke sistem digital.