Pj Gubernur NTB Lalu Gita Ariandi (tengah) saat berada di Gedung Merah Putih KPK. Foto: Medcom.id/Candra.
Jakarta: Penjabat (Pj) Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Gita Ariandi memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia bakal menjadi saksi dalam dugaan rasuah pengadaan barang dan jasa serta penerimaan gratifikasi di Pemerintahan Kota Bima.
Lalu tiba sekitar pukul 12.40 WIB. Dia enggan memberikan komentar soal pemanggilannya.
Lalu datang bersama dengan dua orang lainnya yang turut menemani. Namun, KPK hanya mempersilahkan Pj Gubernur NTB tersebut yang memasuki ruangan penyidikan.
Juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri mengatakan Lalu sejatinya dipanggil kemarin, 20 November 2023. Namun, dia meminta permintaan keterangannya diundur menjadi hari ini.
"Diperoleh konfirmasi dari yang bersangkutan akan hadir hari ini," kata Ali melalui keterangan tertulis, Selasa, 21 November 2023.
Wali Kota nonaktif Bima Muhammad Lutfi menjadi tersangka dalam perkara tersebut. Kasus ini bermula ketika Lutfi ingin mengondisikan proyek pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemerintah Kota (Pemkot) Bima. Dia mengajak keluarga intinya melakukan permainan kotor itu.
Lutfi juga diduga memerintahkan sejumlah pejabat menyusun berbagai proyek di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima. Kongkalikong itu dilakukan di rumah dinasnya.
Proyek yang dikondisikan untuk Tahun Anggaran 2019 sampai dengan 2020. KPK mencatat uang yang dikeluarkan negara untuk pengerjaan yang sudah dilakukan mencapai puluhan miliar rupiah.
KPK juga meyakini Lutfi mengatur proses lelang proyek sebagai formalitas belaka. Pemenangnya diketahui tidak sesuai kualifikasi persyaratan yang sudah ditentukan.
Atas pengondisian tersebut, Lutfi mendapatkan uang Rp8,6 miliar. KPK kini masih mendalami proyek lain.
Dalam perkara ini, Lutfi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (i) dan atau Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.