BI Diminta Tahan Suku Bunga Acuan di Level 6,25%, Ini Alasannya

Ilustrasi, gedung Bank Indonesia. Foto: dok MI/Rommy Pujianto.

BI Diminta Tahan Suku Bunga Acuan di Level 6,25%, Ini Alasannya

Insi Nantika Jelita • 16 July 2024 15:32

Jakarta: Ekonom makroekonomi dan pasar keuangan Lembaga Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Teuku Riefky mendorong Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) 6,25 persen di bulan ini. Hal ini karena kondisi inflasi di Tanah Air dan eksternal yang relatif baik.

Riefky mencatat selama enam bulan memasuki 2024, inflasi umum melambat menjadi 2,51 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada Juni 2024, turun dari 2,84 persen yoy pada Mei 2024. Ini menandai tingkat inflasi umum terendah dalam sembilan bulan terakhir dan berada di tengah kisaran target BI sebesar 1,5 persen hingga 3,5 persen.

Penurunan inflasi umum terutama disebabkan oleh penurunan harga pangan setelah musim panen dan periode permintaan yang rendah setelah perayaan Idulfitri pada April lalu. Inflasi untuk kelompok makanan, minuman, dan tembakau menurun menjadi 4,95 persen yoy pada Juni 2024 dari 6,18 persen yoy pada Mei, mencapai level terendah dalam delapan bulan terakhir.

Untuk saat ini, lanjut Riefky, inflasi cenderung bukanlah isu yang mendesak dan perbedaan tingkat suku bunga masih cenderung atraktif untuk menarik modal masuk dan menjaga stabilitas rupiah.

"Menilai kondisi ini, kami berpandangan BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,25 persen untuk bulan ini," ungkap Riefky dalam keterangan resmi, Selasa, 16 Juli 2024.
 

Baca juga: Kendalikan Inflasi, Pemerintah Jejali Pasar Lewat Gerakan Pangan Murah
 

Arah suku bunga Fed bergejolak


Untuk faktor eksternal, walaupun tidak ada perubahan pada suku bunga kebijakan Bank Sentral AS, The Fed sejak Juni lalu, sentimen terhadap arah kebijakan The Fed untuk sisa tahun ini telah berubah secara signifikan sejak bulan lalu.

Salah satu alasan utamanya adalah akibat rilis data inflasi AS. Pada Juni 2024, inflasi AS tercatat turun ke 3,0 persen yoy dari bulan sebelumnya di level 3,3 persen yoy dan mencapai titik terendahnya sejak Maret 2021.

Meredanya tekanan juga terjadi di pasar tenaga kerja AS, dengan angka pengangguran sedikit meningkat di Juni dan pertumbuhan lapangan kerja yang melambat dari perkiraan awal. Terdapat penambahan lapangan kerja sebesar 206 ribu di perekonomian AS, melebihi konsensus sebelumnya yang memprediksi hanya sebesar 190 ribu.

Riefky menerangkan rilis data inflasi dan pengangguran terkini di AS secara umum mengindikasikan narasi bahwa tekanan di perekonomian AS mulai mereda. Karena The Fed saat ini mengambil sikap yang lebih dovish, arus modal telah masuk ke pasar negara berkembang dan rupiah telah terapresiasi selama beberapa minggu terakhir. Rupiah saat ini tercatat sekitar Rp16.110 per USD, menguat sekitar 2,23 persen dalam sebulan terakhir.

Total arus modal portofolio ke pasar keuangan Indonesia meningkat hingga USD1,06 miliar dalam tiga minggu terakhir, dan mencatatkan akumulasi arus modal tertingginya sejak pertengahan April. Dari USD1,06 miliar tersebut, USD740 juta masuk ke pasar saham dan USD320 juta sisanya masuk ke instrumen obligasi.

"Arus modal masuk cenderung membawa dampak baik ke Indonesia dengan turunnya tekanan pada rupiah," ungkap Riefky.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)