Chryshnanda Dwilaksana, Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri. Foto: Dok/Pribadi
Oleh: Chryshnanda Dwilaksana*
Polisi bekerja dalam pemolisian, keutamannya bagi kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban. Prof Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa polisi bekerja dengan O2H otak, otot dan hati nurani yang menjadi penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan. Polisi bekerja atas dasar kesadaran akan keutamaannya (kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban) dengan tanggung jawab dan disiplin.
Polisi dalam pemolisiannya bekerja cerdas dan bekerja keras dalam menyelenhgarakan tugasnya untuk meningkatkan kualiitas hidup masyatakat. Cinta dan bangga akan pekerjaannya dan setia serta loyal dalam kinerja kepada bangsa, negara, masyarakat dan institusi kepolisian terus berjuang untuk meningkatkan kualitas kinerjanya sebagai polosi yang profesional, bekerja dengan tulus serta bereaksi dengan cepat dalam menjaga keamanan dan rasa aman warga masyakat. Dari keutamaan kepolisian dalam pemolisiannya menjadi inspirasi bagi reformasi birokrasi kepolisian.
Reformasi adalah usaha perubahan menuju sesuatu yang lebih baik atau menjadi lebih baik. Birokrasi dapat dimaknai sebagai tata kerja institusi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada publik. Birokrasi dapat dimaknai pula dengan pembagian tugas sesuai dengan struktur organisasi dengan pembagian beban tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan tugas dalam institusi.
Reformasi birokrasi adalah segala usaha atau upaya menjadikan birokrasi berfungsi secara professional mampu memberikan pelayanan yang prima dan menjadi ikon pelayanan, perlindungan pengayoman masyarakat juga sebagai penegak hukum dan keadilan yang tegas berwibawa namun humanis. Selain itu juga diawaki oleh SDM yang berkarakter yang memiliki integritas komitmen kompetensi dan keunggulan. Yang benar benar mencintai dan bangga akan institusinya. Implementasi penyelenggaraan tugas kepolisian dalam ranah birokrasi maupun masyarakat ditunjukkan dengan kualitas prima dalam memberikan pelayan kepada publik di bidang keamanan, keselamatan, hukum, administrasi, informasi maupun kemanusiaan.
Pendekatan birokrasi yang profesional ada pada hubungan-hubungan yang sifatnya impersonal atau hubungan berbasis kompetensi. Birokrasi demikian disebut juga dengan birokrasi yang rasional. Artinya, konsep-konsep dan kebijakan-kebijakan bersifat tertulis. Keputusan ada pada pimpinan tetapi dia bertanggung jawab sebagai manajer atas kewenangan yang diberikan dan keputusan yang diambilnya. Sangat berbeda bahkan bertentangan dengan birokrasi yang patrimonial, feodal, dan tidak rasional dan pendekatan personal menjadi andalannya.
Dalam mereformasi birokrasi, hal penting dan mendasar dilakukan adalah perubahan kultur yang dimulai dari perubahan mind set. Reformasi secara struktural instrumental dan kultural diperlukan pembenahan dari konsepnya, aturannya, infrastruktur dan sistem pendukung yang berbasis IT, kepemimpinan yang transformatif, pembinaan SDM yang berkarkter adanya keteladanan serta penegakkan hukum yang tegas dan berkeadilan. Dengan demikian mampu menjadikan birokrasi sebagai ikon bagi pelayanan publik yang cepat, dekat dan bersahabat.
Hakikat reformasi secara mendasar adalah reformasi kultural dipahami sebagai wujud perubahan mendasar atas nilai-nilai budaya, pedoman-pedoman, keyakinan-keyakinan, dan teori-teori yang digunakan sbg secara selektif prioritas dalam mengimplementasikan pelayanan kepada publik sehingga mampu menjd ikon peradaban dengan pelayanan kepada publik yang berkualitas prima.
Segala sesuatu yang dapat menghambat reformasi birokrasi secafa kultural salah satunya adalah diskresi birokrasi yang pendekatannya personal, patrimonial yang cenderung menjadi korup. Diskresi birokrasi ini ditunjukkan adanya kepemimpinan yang otoriter dalam birokrasi patrimonial, kebijakan lisan dari pimpinan yang tidak tersurat namun tersirat. Para anggoga atau anak buah dan mau tidak mau harus menjabarkan dan melaksanakan kebijakan lisan pimpinan dalam menyelenggarakan tugas. Diskresi birokrasi ini memiliki kencenderungan korup, karena acuanya adalah keputusan yang bersifag subyektif melalui pendekatan personal dan bersifat lisan. Dengan demikian secara administratif, secara hukum, seacara fungsional, secara sosial bahkan secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Perubahan mind set tidak mungkin dilakukan dengan instan, tidak mungkin juga dengan cara-cara kekerasan fisik mapun simbolik atau dengan kegiatan seremonial ataupun supervisial sesaat yanv penuh kepura puraan. Tidak mungkin juga dilakukan dengan suatu perintah, "siap grak berubah grak ...". Perubahan
mind set adalah kemauan, keberanian, dan kepedulian bahkan kerelaan berkorban dari segenap unsur pimpinan di semua lini karena pemimpin merulan sumber enerji, keteeladanan sebagai panutan, agen perubahan yang mempunyai kekuatan dan legitimasi untuk melakukan perubahan.
Keteladanan, integritas, komitmen moral, dari pimpinan menjadi dasar pijakan perubahan mind set bahkan culture set. Political will pimpinan menjadikan tiang pancang untuk tautan, karena tanpanya sistem akan hancur berantakan. Aspek lain yang perlu dilakukan adalah edukasi bertahap, berjenjang, dan berkesinambungan bahkan sepanjang hayat untk menjadikan birokrasi pembelajar. Pada tahap ini semua level pimpinan wajib mengedukasi bawahannya yang mampu mentor untuk mampu menjembatani memotivasi memberdayakan bahkan membantu memberikan berbagai solusi.
Perubahan nilai-nilai budaya yang diikuti dengan pembangunan infrastruktur dan penegakkan hukum dan disiplin harus dilakukan. Tentu ini tidak dilakukan dengan cara-cara otoriter tetapi bagaimana kesadaran dapat dibangun dan bagaimana kepekaan dan tanggung jawab diwujudkan. Yang tidak kalah penting adalah membangun karakter institusi yang ditinjukan dari profesionalisme, keunggulan keunggulan, maupun sikap moralitas. Kesadaran merupakan tingkatan moral tertinggi yang dapat mendorong adanya: kepekaan kepedulian bahkan empati serta belarasa yang menjadikan humanis dlm mengangkat harkat dan martabat manusia
Dukungan dari berbagai pemangku kepentingan dan legitimasi dari berbagai pihak merupakan
soft power yang dapat dijadikan landasan dan langkah awalnya atau modal dasar reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi, pemahamannya dapat dimaknai sebagai upaya menuju birokrasi yang rasional, modern, yang berdasarkan kompetensi, profesional, cerdas, modern, inovatif kreatif , transparan, akuntabel dan proaktif serta problem solving.
Reformasi birokrasi kepolisian dapat dipahami sebagai upaya kepolisian menjadi polisi sipil yang profesional, cerdas, kreatif, inovatif, transparan, akuntabel, modern, proaktif, problem solving, kemitraan yang mengutamakan pencegahan serta seantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Di dalam masyarakat yang modern dan demokratis sebagai ikon peradaban, kemanusiaan. Reformasi secara struktural, instrumental dan kultural.
Dalam mereformasi kepolisian ada tiga pola dasar yang meliputi upaya untuk:
Pertama, belajar dan memperbaiki kesalahan masa lalu. Yang harus berani ditunjukan apa kesalahan-kesalahan masa lalu dan tentu saja bukan karena subyektifitas serta sifat defense yang berlebihan. Tentu saja bukan untuk menyalahkam atau mencari kesalahan tetapi untuk memperbaiki kesalahan baik di bidang pembinaan maupun bidang operasional. Termasuk konsep-konsep dan peraturan-peraturan maupun pedoman-pedoman yang telah ada. Selain kesalahan tentu ada potensi-potensi yang bisa mendukung yang bisa diberdayakan atau direvitalisasi.
Kedua, siap menghadapi tuntutan dan kebutuhan masa kini. Reformasi birokrasi kepolisian mewujudkan harapan dan kebutuhan serta tuntutan masyarakat di masa kini. Yang harus cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah. Untuk mencapainya tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi maka akan tidak mungkin terwujud.
Ketiga, menyiapkan masa depan yang lebih baik. Reformasi birokrasi merupakan upaya untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik, baik dalam bidang pembinaan maupun operasional. Sebagai contoh dalam pembinaan SDM baik dari rekrutmen sampai pengakhiran dinas berdasarkan standar kompetensi atau produktifitas, yang transparan, akuntabel.
Sejalan dengan pemikiran di atas maka dalam reformasi birokrasi kepolisian hal-hal yang perlu dipersiapkan antara lain:
1.
Political will yang visioner dan mendukung proses reformasi birokrasi,
2. Adanya kepemimpinan yang transformatif,
3. Pembangunan infrastruktur yang berbasis IT,
4. Menyiapkan tim transformasi sebagai tim
back up dan tim monitoring serta evaluasi,
5. Menyiapkan SDM yang berkarakter sebagai penjaga kehidupan pembangun peradaban, dan pejuang
7. Memiliki program unggulan mencapqi standar dan kuqlitas tinggi (
world class),
8. Menyiapkan pilot project sebagai model percontohan,
9. Monitoring dan evaluasi dan melakukan evaluasi
10. Mengembangkan apa yang sudah dicanangkan pada wilayah lainnya.
Implementasi reformasi birokrasi kepolisian secara kuktural dapat dijabarkan dalam 8 program yang mencakup :
1. Birokrasi mampu menjadi institusii yang tepat fungsi, dan tepat ukuran (right size).
2. Tatalaksana (sistem, proses dan prosedur yang jelas, efektif, efisien, terukur, sesuai dengan prinsip-prinsip good governance).
3. Peraturan/ UU (regulasi yang tertib, tidak tumpang tindih).
4. SDM (sdm beritegritas, netral, kompeten, kapabel, berkinerja tinggi, dan sejahtera)
5. Pengawasan (meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas kkn)
6. Akuntabilitas (meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi).
7. Pelayanan publik (pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat).
8. Budaya kerja (birokrasi dengaan integritas dan kinerja tinggi).
Kedelapam hal tersebut yang diprioritaskan pada:
a. SDM (kompetensi),
b. Instrument dan metode,
c. Kelembagaan (struktur dan kultur).
Implementasinya dijabarkan oleh masing-masing satker dan sub satker dari tingkat mabes sampai dengan polres. Mereformasi birokrasi kepolisian secara prinsip dapat sama namun implementasinya disesuaikan dengan corak masyatakat dan kebudayaanya, tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing yang dapat dikembangkan dalam membangun birolrasi kepolisian sebagai polisi sipil dalam masyarakat yang demokratis (membangun supremasi hukum, memberikan jaminan dan perlindungan HAM, transparan dan akuntabel, berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat). Yang ditunjukan dari kinerja Polri yang: profesional, cerdas, transparan dan akuntabel, cepat, tepat, akurat, informatif, mudah di akses, proaktif, problem solving yang mengutamakan pada tindakan pencegahan.
Dengan demikian reformasi birokrasi kepolisian dalam membangun sistem pemolisian yang:
1. Berbasis pada supremasi hukum
2. Pemolisiannya dapat dipertanggungjawbkan secara: administrasi, hukum, fungsional, sosial kemanfaatanya bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat dan secara moral karena tugas-tugasnya adalah untuk memanusiakan manusia dalam arti mengangkat harkat, martabat manusia, yang dibangun di atas dasar kesadaran, tanggung jawab, dan disiplin. Walaupun sebagai polisi yang modern dan handal dalam mengimplementasikan
smart policing, harmoninya antara:
conventional policing, e-policing, dan
forensic policing yang humanis profesional, cerdas, bermoral dan modern diutamakan.
Penjabaran konsep-konsep tersebut perlu dilakukan pada tataran kepemimpinan, administrasi, operasional, dan peningkatan kapasitas; mulai dari tingkat mabes, polda, polres, polsek dan sub-sektor, dan bahkan sampai babinkamtibmas.
Model pemolisian yang sekarang ini banyak diadopsi dalam kepolisian-kepolisian yang modern dan demokratis adalah
community policing. Dalam penyelenggaraaan tugas Polri dikenal sebagai Polisi Masyarakat (Polmas). Pemolisian model e-policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian baik pada tingkat manajemen dan operasional, dengan atau tanpa upaya paksa, dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial (Kamtibmas). Pada era digital reformasi birokrasi ini, kepolisian sudah membangun sistem-sistem dan infrastruktur modern pemolisian secara online (
e-policing).
Selain sistem, reformasi birokrasi kepolisian juga membangun ikon atau simbol-simbol bagi para petugasnya: simbol keahlian (profesionalisme), kemanusiaan, aparat yang berkarakter, dan simbol perubahan. Melaksanakan simbol-simbol itu merupakan wujud dari keunggulan dan keunikan Polri yang membawa manfaat signifikan bagi keamanan dan keselamatan masyarakat. Perwujudan ikon atau simbol itu akan menjadi kebanggaan yang sekaligus memecahkan beberapa masalah yang internal maupun eksternal. Jika para petugasnya mampu menjadi ikon, maka masalah yang dihadapi secara internal dapat diminimalisir atau bahkan nyaris tidak ada lagi.
*Penulis adalah Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri