Putusan MK Dinilai Berpotensi Menimbulkan Pelanggaran Konstitusi

Anggota Komisi III DPR Taufik Basari. Dok Tangkapan Layar

Putusan MK Dinilai Berpotensi Menimbulkan Pelanggaran Konstitusi

Achmad Zulfikar Fazli • 6 July 2025 13:28

Jakarta: Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah atau lokal tak hanya mengarah pada krisis konstitusional. Putusan ini juga berpotensi berdampak pada pelanggaran konstitusi.

"Selain krisis konstitusional tersebut, terdapat potensi pelanggaran konstitusi selanjutnya sebagai dampak putusan MK tersebut, terkait akan adanya anggota DPRD pada masa perpanjangan yang kedudukannya inkonstitusional," ujar anggota Komisi III DPR Taufik Basari, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR, dilansir pada Minggu, 6 Juli 2025.

Dia membeberkan alasan putusan MK ini bisa berdampak pada pelanggaran konstitusi. Di antaranya pemisahan pemilu menimbulkan potensi perpanjangan masa jabatan anggota DPRD selama dua tahun atau paling lama 2,5 tahun. Setelah para anggota DPRD selesai menjabat selama lima tahun, akan menempatkan para anggota DPRD tersebut menjabat tanpa ada legitimasi demokrasi, padahal kedudukan mereka adalah wakil rakyat harus dipilih oleh rakyat melalui pemilu.

"Anggota DPRD adalah jabatan politik yang berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945 harus dipilih melalui pemilu dan pemilu adalah satu-satunya sarana dan jalur untuk menjadi anggota DPRD. Tidak ada jalur untuk menjadi anggota DPRD. Anggota DPRD tidak boleh diangkat, ditunjuk, atau diperpanjang secara administrasi karena yang berhak memastikan siapa yang menjadi anggota DPRD adalah rakyat sebagai pemilik kedaulatan rakyat," ujar dia.

Tobas, sapaan akrab Taufik mengatakan apabila pilihan kebijakan hukumnya adalah dengan mengosongkan DPRD atau meniadakan DPRD selama masa transisi dua tahun hingga 2,5 tahun, juga akan tetap melanggar konstitusi. Sebab, berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945, pemerintahan daerah memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

"Apabila pembentuk undang-undang, DPR dan Presiden, melaksanakan Putusan MK dengan menunda pemilihan umum DPRD hingga dua tahun setelah pelantikan DPR/DPD atau Presiden/Wapres, maka juga akan melanggar konstitusi," tegas dia.
 

Baca Juga: 

Repsons Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah, Surya Paloh: Ada Pengaruh dari Mana?


Dia menjelaskan sistem penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah yang terpisah dengan rentang waktu dua sampai 2,5 tahun tersebut rumusannya dimuat dalam amar putusan, bukan dalam pertimbangan hukum putusan. Amar putusan adalah rumusan yang menggantikan posisi norma undang-undang di mana isi amar putusan adalah norma undang-undang yang menurut MK rumusan itu yang konstitusional. Pemuatan model sistem penyelenggaraan pemilu dalam amar putusan dengan alasan model tersebut yang dinilai konstitusional menurut MK akan menimbulkan problem lanjutan.

Dia menyampaikan amar putusan MK secara eksplisit memuat teknis pelaksanaan pemilu akan berdampak pada ketiadaan ruang lain, selain pelaksanaan putusan sebagaimana termuat pada amar putusan. Jika tidak dilaksanakan sesuai amar putusan berarti tidak menjalankan putusan sesuai amar putusan.

"Pemuatan teknis pelaksanaan pemilu dalam amar putusan akan mengunci alternatif lain yang dapat saja terbuka untuk didiskusikan, karena pemuatan dalam amar putusan dapat dibaca hanya model yang tercantum pada amar putusan ini saja yang konstitusional, di luar itu adalah konstitusional," ujar dia.

Dia mengatakan amar putusan MK seperti ini akan menutup ruang dinamika perkembangan sistem pemilu di mana di seluruh dunia tidak ada sistem pelaksanaan pemilu yang ajeg dan konstan. Sistem pemilu mestinya terbuka pada perkembangan zaman. Contohnya, apabila ternyata secara teknologi Indonesia telah mampu menggunakan e-voting pada pemilu 2029, apakah persoalan yang diputus dalam Putusan MK dan Amar Putusan MK masih relevan.

"Keleluasaan memilih sistem mana yang tepat bukanlah persoalan konstitusionalitas. Ada hal-hal situasional yang dapat menjadi pertimbangan dalam merumuskan norma undang-undang terkait hal-hak teknis. Karena itu berbagai pilihan mestinya dapat dibahas dalam forum pembahasan pembuat undang-undang sepanjang dengan koridor tidak boleh ada pelanggaran norma konstitusi, dan tidak boleh ada pelanggaran terhadap hak konstitusional seseorang. Namun dengan amar putusan seperti ini membuat ruang tersebut menjadi terkunci," kata dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)