Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.
MUNGKIN Anda menganggap saya berlebihan menyandingkan dua nama itu dalam judul: Noel dan Raya. Tidak apa-apa. Saya memang ingin menyandingkan keduanya dalam satu lanskap kegetiran di bulan peringatan kemerdekaan Indonesia, bulan Agustus.
Nama pertama, Raya. Ia balita perempuan berumur 4 tahun, asal Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Raya meninggal didekap kemiskinan akut saat jutaan orang 'merayakan' ulang tahun kemerdekaan. Anak sekecil itu harus berperang melawan cacing-cacing yang menggerogoti tubuhnya.
Ia mengalami askariasis, infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, salah satu jenis cacing yang umum menyerang anak-anak. Saat ia meninggal, tenaga medis menemukan cacing gelang dengan berat 1 kilogram menumpuk di tubuhnya.
Raya sebetulnya sudah lama dalam pengawasan gizi oleh petugas desa di Kampung Padangenyang, Desa Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Ia dikategorikan sebagai salah satu anak dengan status BGM (bawah garis merah), istilah medis untuk kondisi gizi buruk. Karena itu, Raya menjadi perhatian utama dalam pelayanan posyandu setempat.
Namun, ibunya yang menderita gangguan mental, ayahnya yang menderita TBC, dan rumahnya yang jauh dari akses fasilitas kesehatan membuatnya kalah. Tubuhnya yang ringkih, kian ringkih dari waktu ke waktu. Raya tak bisa merayakan apa pun: hari raya, hari ulang tahun, atau hari kemerdekaan.
Raya masih jauh dari kata merdeka. Tangan negara tak sepenuhnya sempat menjamahnya. Ia terlahir dari rahim keluarga yang sangat miskin. Ia tak sempat tahu bagaimana rasanya merdeka. Ia mungkin ingin berjoget menirukan mereka yang tengah 'menikmati' kemerdekaan bangsa. Namun, tubuhnya tak kuasa.
Kini Raya sudah tiada. Ia kembali ke pangkuan Yang Mahakuasa. Di surga. Tak ada lagi cacing-cacing yang menggerogotinya. Ia bisa leluasa bermain di taman surga. Kini, ia mencium wangi kasturi, bukan lagi kotoran ayam seperti hari-hari sebelumnya saat di rumahnya, di Sukabumi.
Namun, ia menjadi cermin kelalaian negara mengurus salah satu anak bangsanya. Ia jadi potret getir bahwa di usianya yang ke-80 tahun, negaranya tak sanggup melindunginya. Kematian Raya menampar kita, menampar siapa saja, khususnya para penggawa negara. Mestinya kita malu, bila memang masih menyisakan urat malu. Kasusnya mestinya jadi kaca benggala agar tak ada Raya Raya selanjutnya.
Beberapa jam setelah meninggalnya Raya, hanya beberapa puluh kilometer dari tempat ia dimakamkan, di Ibu Kota Jakarta, ada nama kedua, Immanuel Ebenezer, yang ditangkap KPK. Noel, nama panggilan sehari-hari Immanuel, ialah Wakil Menteri Tenaga Kerja. Ia ditangkap karena diduga memeras para pihak yang bermaksud mendapatkan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara wajar.
Noel seorang pejabat. Ia pasti berkecukupan. Namun, mungkin, ia merasa belum cukup. Meski sudah memiliki harta kekayaan lebih dari Rp17 miliar (setidaknya menurut laporan harta kekayaan penyelenggaran negara yang ia berikan), ia mungkin merasa masih harus memupuk materi hingga mencapai puncak. Jika puncak gunung bisa diukur, puncak keinginan materi lebih absurd. Nyaris tak terukur.
Jika apa yang disangkakan KPK terbukti, Noel jelas kalah oleh hasratnya sendiri untuk terus memupuk pundi-pundi. Ia gagal mengetahui batas. Ia larut dalam barisan para cacing yang mengisap siapa saja yang membutuhkan layanannya. Padahal, ia mestinya melayani tanpa perlu menuntut imbalan karena rakyat telah mengganjarnya dengan gaji dan beragam fasilitas lainnya melalui pajak.
Noel diberi mandat melayani, bukan memeras. Ia mestinya berkorban, bukan menuntut. Ia mungkin sudah berkali-kali merayakan kemerdekaan, ulang tahun, hingga syukuran naik jabatan. Akan tetapi, boleh jadi, ia belum bersyukur. Amat mungkin ia belum selesai dengan dirinya. Ia masih ingin lagi dan lagi, terus dan terus, hingga KPK menyetopnya.
Penangkapan Noel juga kaca benggala, bahwa 80 tahun usia kemerdekaan, masih banyak pejabat yang menukar pengabdian dengan perburuan. Mereka yang mestinya ditabalkan sebagai sang pengabdi, malah menjadi sang pencari. Mereka, para 'cacing gelang penggerogot' itu, amat jauh dari
idiom leiden is lijden, memimpin adalah menderita, memimpin berarti berkorban. Sebaliknya, mereka amat dekat dengan
idiom leiden is genieten, memimpin adalah menikmati.
Raya dan Noel ialah kontras yang nyata di tanah merdeka: yang satu berperang melawan cacing-cacing gelang lalu rebah dalam dekapan kemiskinan, yang satu tak tahan godaan untuk menjadi barisan 'cacing gelang' yang terus mengisap mereka yang membutuhkan demi merasakan hidup dalam kegelimangan.
Sampai kapan kita dipertontonkan kontras telanjang seperti ini dalam episode kehidupan kita? Mungkinkah hingga seabad usia Republik ini? Penggalan sajak WS Rendra yang berjudul
Orang-Orang Miskin kiranya bakal menjadi pengingat kita, bahwa episode kekontrasan ini tak boleh diremehkan.
Rendra menulis:
‘Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.’