Ilustrasi kemiskinan di Indonesia. Foto: dok MI.
Husen Miftahudin • 29 November 2025 22:29
Jakarta: Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2025 menyebutkan jumlah penduduk miskin mencapai 23,85 juta jiwa atau 8,47 persen, dengan tingkat kemiskinan pedesaan (11,03 persen) yang masih lebih tinggi dibandingkan perkotaan (6,73 persen).
Di sisi lain, Anggaran Perlindungan Sosial pada APBN 2025 mencapai Rp503,2 triliun. Namun demikian, angka kemiskinan belum menurun secara radikal. Pada kenyataan di lapangan menunjukkan, upaya pemerintah mengentaskan kemiskinan di Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks
Deputi Bidang Penyelenggaraan Pengembangan Kapasitas ASN Lembaga Administrasi Negara (LAN) Tri Widodo mengatakan, upaya pengentasan kemiskinan menghadapi tantangan struktural dan kultural seperti in-akurasi data, ego sektoral, sampai dengan birokrasi yang hanya berfokus pada administratif semata.
Pemerintah sebenarnya telah menetapkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang optimalisasi pelaksanaan pengentasan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem. Namun dalam implementasinya kebijakan tersebut tidak berjalan optimal lantaran Inpres bersifat instruktif dan terbatas pada arahan internal.
"Untuk itu LAN mengapresiasi para peserta PKN Tingkat I Angkatan LXIV yang merekomendasikan policy brief yang mengangkat tema peningkatan dan penyempurnaan Inpres 8/2025 menjadi peraturan presiden (perpres)," ucap Tri Widodo pada seminar Policy Brief Peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat I Angkatan LXIV, dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu, 29 November 2025.
Tiga transformasional entaskan kemiskinan
Sementara itu, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf mengapresiasi rekomendasi kebijakan yang diusulkan peserta PKN tingkat I angkatan LXIV. Ia menilai pelatihan ini bersifat strategis yang mampu membangun kepemimpinan transformasional dan kolaboratif dalam birokrasi yang tidak hanya mengawasi prosedur melainkan juga menjadi arsitek transformasi.
"Setidaknya dibutuhkan tiga transformasional untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Antara lain, transformasi dan pemutakhiran data dari berbagai sektor, transformasi sasaran melalui digitalisasi dan partisipasi seluruh elemen pemerintah baik pusat dan daerah, serta terakhir transformasi cara atau metode dengan pendekatan yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan, untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mencegah transmisi kemiskinan," ungkap Saifullah.
Mensos juga menegaskan perlunya kepemimpinan
birokrasi yang mengedepankan
evidence-based policy. Pemimpin harus berani mengambil keputusan berbasis data, bukan tekanan politik atau persepsi.
(Seminar Policy Brief Peserta PKN Tingkat I Angkatan LXIV. Foto: dok LAN)
Akomodasi tiga sektor strategis
Menurut salah satu perwakilan peserta PKN I Abu Rokhmad, kemiskinan merupakan fenomena yang harus diukur, bukan ditebak. Data terpadu menjadi kompas moral dalam setiap pengambilan keputusan. Ia juga menekankan transformasi pengentasan kemiskinan hanya dapat terjadi bila pemimpinnya juga bertransformasi.
"Kemiskinan ini adalah isu yang menyatukan tanggung jawab lintas sektor. Karena itu, birokrasi harus menjadi bahasa pemersatu, dalam memastikan seluruh program berjalan seragam dan saling menguatkan. Transformasi tidak terjadi di podium, tetapi di lapangan, dan kepemimpinan birokrasilah yang menjadi penggeraknya," tutur dia.
Ia menegaskan pentingnya perpres yang mampu mengakomodasi tiga sektor strategis yang saling berkaitan dan berperan kuat dalam menurunkan kemiskinan secara berkelanjutan.
"Tiga sektor tersebut diantaranya, pertama, sektor ketenagakerjaan. Kemiskinan tidak lagi dipandang sekadar persoalan pendapatan, melainkan capability deprivation. Mayoritas penduduk miskin bekerja di sektor informal yang rentan, berpendapatan rendah, tidak stabil, serta minim perlindungan sosial, kondisi ini menyebabkan mobilitas ekonomi kelompok miskin sangat terbatas," urai Abu.
Kedua, lanjutnya, sektor kesehatan. Masyarakat yang sehat dinilai lebih produktif dan dapat meningkatkan pendapatan keluarga, Namun kenyataannya distribusi layanan kesehatan masih belum merata. Hal ini terlihat dari masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), kurang efektifnya komunikasi, serta keterlambatan distribusi logistik kesehatan menunjukkan masih adanya tantangan dalam memastikan program pengentasan kemiskinan berjalan tepat sasaran.
Ketiga, sektor pendidikan, BPS di 2025 mencatat tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih didominasi lulusan pendidikan dasar, hal ini berdampak langsung pada rendahnya kualitas SDM, pengangguran, kemiskinan, hingga tingginya kerentanan sosial. Kualitas pendidikan yang tidak merata juga berkontribusi pada kurang optimalnya produktivitas masyarakat.