Editorial MI: Jadikan Sekolah Tempat Aman

Ilustrasi. Dok Media Indonesia

Editorial MI: Jadikan Sekolah Tempat Aman

Media Indonesia • 10 November 2025 06:47

MASYARAKAT sangat prihatin melihat perilaku sebagian pelajar saat ini. Dalam tempo sekitar satu pekan, terjadi dua peristiwa yang memilukan dilakukan oleh kalangan siswa.

Pertama, seorang santri di bawah umur disangkakan sebagai pelaku pembakaran asrama putra di sebuah pondok pesantren (ponpes) yang berada di Kecamatan Kuta Baro, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, pada 31 Oktober 2025. Lalu, pada 7 November, seorang pelajar diduga menjadi pelaku peledakan di SMA Negeri 72 yang berlokasi di kompleks TNI-AL, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Siswa dan santri di Jakarta dan Aceh tersebut mungkin tidak saling kenal. Akan tetapi, mereka sama-sama nekat melakukan tindak kekerasan. Bila santri di Aceh memakai korek api, siswa di SMAN 72 diduga menggunakan bahan peledak rakitan.

Pesan yang perlu diambil dari kedua peristiwa itu bukan terletak pada peralatan yang digunakan ataupun persiapannya. Yang menjadi persoalan utama ialah bagaimana anak muda penerus bangsa tersebut terlibat dalam aksi kekerasan. Untuk kasus santri di Aceh, aparat kepolisian sudah mengungkapkan motif di balik kejadian itu karena kekesalan pelaku yang kerap menjadi korban perundungan di ponpes.

Adapun dalam tragedi di SMAN 72, polisi masih menunggu pemulihan terduga pelaku untuk mengetahui motif tindakannya. Sejumlah rekan terduga pelaku mengungkapkan bahwa dia sebenarnya juga korban aksi perundungan. Di sisi lain, ada pula dugaan perilaku kekerasan itu terkait dengan konten di media sosial (medsos).

Apa pun motifnya, kejadian ini seyogianya menjadi alarm pengingat bagi semua pihak, baik pemerintah, guru, orang tua, maupun lingkungan. Pengingat bahwa telah terjadi pergeseran relasi antara anak dan orang tua, guru, serta lingkungan sekitar.
 

Baca Juga: 

Viral Guru SMPN 1 Trenggalek Dianiaya Kakak Siswa Gegara Sita Ponsel


Anak-anak seakan memandang kemarahan dan agresi selama ini bisa disalurkan sesuai kemauan sendiri. Mereka yang sudah memendam dendam atas aksi perundungan yang dialami dan tidak bisa meraih keadilan melalui jalur orangtua dan guru, akhirnya merasa aksi vigilante atau main hakim sendiri menjadi solusi.

Kondisi itu diperburuk dengan paparan konten media sosial maupun gim online yang marak menawarkan kekerasan sebagai jalan menuju keadilan atau kemenangan. Mereka yang minim literasi digital belum bisa memilah manfaat maupun mudarat dari medsos maupun gim online tersebut. Mereka juga belum bisa membedakan mana konten yang positif dengan yang negatif. Sepanjang konten atau gim yang ada bisa diakses, itu berarti dianggap bisa menjadi pembenaran atas pembalasan rasa sakit hati.

Pemerintah, orang tua, guru, dan sekolah sudah harus meningkatkan atensi terhadap perubahan perilaku anak. Orang tua semestinya melihat dan mendengarkan keluh kesah anak. Jangan sampai anak merasa dibiarkan sendirian. Orang tua juga perlu meningkatkan pemantauan aktivitas anak di dunia maya. Jangan sampai demi prinsip memberi kebebasan, anak justru menjadi korban serangan mental.

Penggunaan gawai bukanlah sesuatu yang pantang. Namun, haruslah terukur. Banyak manfaat lain dari gawai ketimbang gim online dan menghabiskan waktu untuk bermedsos.
 
Baca Juga: 

Korban Luka Ledakan di SMA 72 Jakarta Dibawa ke RS Yarsi dan RS Islam Cempaka Putih


Sistem pemantauan di sekolah yang masih lemah juga kerap membuat anak rentan menjadi korban perundungan atau mengalami tekanan sosial yang tidak tertangani. Guru haruslah menjadi sosok yang digugu (dipercaya) dan ditiru. Dengan begitu, siswa bisa dengan tanpa ragu bercerita atau mencurahkan isi hati (hati) kepada guru. Harapannya, guru dapat mendeteksi dan mencegah perilaku siswa mengarah pada kekerasan.

Sekolah jangan ragu dan tebang pilih dalam menerapkan aturan tegas demi meminimalkan aksi perundungan. Jangan sampai aksi perundungan hanya diselesaikan dengan mempertemukan pelaku dengan korban untuk bersalaman bak peresmian gudang atau kantor baru. Setelah itu, pelaku dan korban disuruh kembali ke kegiatan belajar mengajar seperti biasa. Padahal, manusia mungkin mudah memaafkan, tetapi susah melupakan.

Kita apresiasi upaya Kemendikdasmen untuk mengembangkan guru wali di luar guru bimbingan dan konseling (BK) sebagai pendamping seluruh murid. Upaya seperti itu bisa mencegah serangan mental yang sudah sangat berbahaya bagi para pelajar kita.

Pemerintah sudah waktunya menerapkan aturan yang mengukur penggunaan gawai dan meningkatkan kegiatan yang positif bagi siswa. Di samping itu, jajaran kementerian terkait perlu mengevaluasi gim-gim online yang banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat.

Ciptakan juga sistem pembelajaran yang mengarahkan pada sikap saling menghargai sesama siswa. Tidak ada siswa yang superior ataupun inferior. Jangan sampai ada siswa yang merasa memiliki kasta lebih tinggi yang bisa menjajah pelajar lain. Semua itu tentunya diharapkan mampu mengembalikan satuan pendidikan menjadi tempat yang aman dan nyaman. Dengan demikian, sekolah akan melahirkan kalangan terpelajar, bukan orang yang penuh amarah.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)