Hoegeng semasa hidup (Foto: Dok. MI)
Whisnu Mardiansyah • 14 October 2025 09:32
Jakarta: Di tengah gemerlap kekuasaan dan godaan korupsi, nama Hoegeng Iman Santoso bersinar bagai mutu manikam dalam sejarah Kepolisian Indonesia. Sosok polisi langka yang memilih hidup sederhana dengan prinsip teguh: kejujuran adalah kemewahan sejati yang tak ternilai harganya.
Lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921, Hoegeng tumbuh dalam keluarga sederhana yang menanamkan nilai integritas sejak dini. Pendidikan hukumnya di Rechtshoogeschool te Batavia terpaksa terhenti akibat pendudukan Jepang tahun 1942.
Di tengah situasi negara yang tak menentu, pemuda Hoegeng memutuskan bergabung dengan dunia kepolisian. Pilihannya bukan didorong ambisi kekuasaan, melainkan panggilan hati untuk menegakkan keadilan di tengah carut-marut zaman.
Setelah Proklamasi 1945, Hoegeng aktif di bidang keamanan dan penyelidikan di berbagai daerah. Reputasinya sebagai aparat muda yang berani dan bersih mulai bersinar, menolak segala bentuk kolusi di masa revolusi.
Kariernya terus menanjak hingga ditunjuk sebagai Direktur Jenderal Imigrasi pada 19 Januari 1961. Selama empat tahun memimpin, ia membersihkan sistem imigrasi dari praktik suap dengan konsistensi yang tak tergoyahkan.
Presiden Soeharto menunjuk Hoegeng sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia ke-5 pada 9 Mei 1968. Penunjukan ini terjadi di masa transisi politik Orde Baru, saat kepercayaan publik terhadap penegak hukum berada di titik nadir.
Sebagai Kapolri, Hoegeng berusaha menegakkan disiplin dan etika di tubuh kepolisian. Ia menutup ruang negosiasi untuk praktik "beking" dan menegur keras anggotanya yang hidup bermewah-mewah.
"Selesaikan tugas dengan kejujuran karena kita masih bisa makan nasi dengan garam," ujar Hoegeng dalam pidato internalnya yang legendaris, Sabtu, 10 Mei 1968.
Kisah kejujuran Hoegeng menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kepolisian. Saat bertugas di Sumatra Utara, ia menolak hadiah mobil dan rumah mewah dari pengusaha dengan tegas.
Ketika menjabat Kepala Imigrasi, ia memerintahkan istrinya menutup toko bunga milik keluarga. Keputusan ini diambil untuk mencegah persepsi adanya perlindungan dari jabatannya.
Bahkan ketika bandar judi mengirim hadiah ke rumah dinasnya, barang-barang itu langsung dikembalikan tanpa dibuka. "Saya tidak mau menerima hadiah yang bisa membuat saya berutang budi pada siapa pun," prinsipnya yang tak pernah tergoyahkan.
Ketegasan Hoegeng dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu sering membuatnya tak populer di kalangan elite. Gesekan politik pun tak terhindarkan, terutama saat ia berani menindak penyelundupan yang melibatkan pejabat tinggi.
Hanya tiga tahun memimpin, Hoegeng diberhentikan dari jabatannya pada 2 Oktober 1971. Pemberhentian ini banyak dinilai sebagai konsekuensi dari ketegasannya menegakkan hukum.
"Lebih baik sederhana tetapi terhormat daripada kaya tapi hina," ujarnya di masa pensiun, menjadi filosofi hidup yang terus dikenang.
Hoegeng wafat pada 14 Juli 2004 di Jakarta, meninggalkan warisan moral yang jauh lebih berharga dari jabatan. Pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 8 November 2022 sebagai penghargaan tertinggi atas integritasnya.
Hingga kini, nama Hoegeng tetap menjadi simbol polisi ideal yang menegakkan hukum tanpa kompromi. Nilai-nilai kejujuran, keberanian, dan kesederhanaan yang ia praktikkan menjadi inspirasi abadi di tengah dinamika penegakan hukum Indonesia.
*Pengerjaan artikel berita ini melibatkan peran kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan kontrol penuh tim redaksi.