Ilustrasi. Medcom
Rahmatul Fajri • 14 March 2025 22:34
Jakarta: Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, merespons gugatan PT Timah Tbk yang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah Pasal 18 ayat 1 huruf b dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal yang dimaksud mengatur tentang kewajiban mengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
PT Timah berpendapat pasal tersebut perlu diubah agar pembayaran uang pengganti tidak hanya dihitung berdasarkan jumlah harta benda yang diperoleh dari tindak pidana. Tetapi, juga berdasarkan kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara.
Menurut Chairul, jika gugatan tersebut diterima dan dikabulkan MK, bisa terjadi overpenalization atau hukuman yang berlebihan terhadap terdakwa.
“Karena pidana yang dijatuhkan kepada orang yang memperkaya diri sendiri akan double atau triple dengan pidana yang dijatuhkan kepada pihak lain (orang atau korporasi) yang juga mendapatkan penambahan kekayaan karena korupsi dimaksud,” kata Chairul, melalui keterangannya, Jumat, 14 Maret 2025.
Terlebih, dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah, bentuk kerugian negara sebesar Rp300 triliun bukan angka riil, melainkan potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan.
“Mengambil contoh kasus PT Timah sama sekali tidak tepat, karena kerugian yang dianggap ada dalam kasus tersebut bukan kerugian keuangan negara, tapi potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan,” jelas dia.
Chairul juga menyoroti praktik eksplorasi dan eksploitasi di wilayah tambang timah. Menurut dia, pihak yang lebih banyak menikmati hasil dari eksplorasi tambang adalah PT Timah.
Oleh karena itu, menurut dia, PT Timah yang justru harus disanksi, namun tidak di bawah UU Tipikor. Pemberian sanksi harus melalui UU Minerba atau UU Lingkungan.
“Justru PT Timah yang harus disanksi pidana, dengan UU Minerba dan UU Lingkungan, bukan UU Tipikor,” ujar dia.
Baca Juga:
Polemik Kerugian Negara di Kasus Timah |