Pengakuan Pilu Korban TPPO di Malang: Kerja Paksa Belasan Jam, Dianiaya, Hingga Ijazah Ditahan

Konferensi pers SBMI Kota Malang. Metrotvnews.com/ Daviq Umar Al Faruq

Pengakuan Pilu Korban TPPO di Malang: Kerja Paksa Belasan Jam, Dianiaya, Hingga Ijazah Ditahan

Daviq Umar Al Faruq • 29 April 2025 10:24

Malang: Derita para calon pekerja migran Indonesia (CPMI) korban dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan PT NSP Cabang Malang semakin terungkap. 

Didampingi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), mereka tak hanya menuntut keadilan atas dugaan penganiayaan dan eksploitasi kerja paksa tanpa upah, tetapi juga atas penahanan dokumen asli yang membuat hidup mereka kian terpuruk.
 

Baca: 47 Calon PMI Jadi Korban, Serikat Buruh Desak Usut Tuntas Jaringan TPPO di Malang
 
Kasus yang kini ditangani aparat penegak hukum ini telah menetapkan tiga tersangka dan berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Malang untuk segera disidangkan. Namun luka fisik dan psikis para korban masih membekas, seperti yang diungkapkan salah satu korban asal Palembang berinisial L.

Dengan suara lantang, L menceritakan bagaimana ia dan rekan-rekannya dipaksa bekerja di sebuah warung yang diduga milik RY, suami salah satu petinggi PT NSP, tanpa menerima upah sepeser pun.

"Kami bekerja dari jam 05.00 WIB pagi sampai jam 22.00 WIB malam tanpa upah. Itu pun sistemnya bergilir. Kami diperlakukan seperti budak. Bayangkan, pernah disuruh memotong 20 kilogram bawang seorang diri tanpa dibayar," ungkap L saat menceritakan pengalaman pahitnya itu, Senin, 28 April 2025.

Tak hanya eksploitasi kerja, para korban juga menghadapi masalah pelik terkait penahanan dokumen asli mereka oleh PT NSP Cabang Malang. L menjelaskan bahwa KTP, kartu keluarga, akta kelahiran, hingga ijazah asli milik sekitar 47 CPMI masih ditahan perusahaan. Hal ini jelas menghambat upaya mereka untuk mencari pekerjaan lain demi menyambung hidup. 

"Semua dokumen kami ditahan. Padahal, dokumen asli itu kami serahkan untuk proses keberangkatan ke Hongkong. Sampai hari ini tidak dikembalikan," keluhnya.

Keterangan serupa juga disampaikan R, korban asal Malang. Ia membenarkan adanya kerja paksa di warung milik RY selama 17 jam setiap harinya tanpa imbalan. 

"Saya pernah dipekerjakan di warung milik Pak RY. Kami bekerja selama 17 jam dan tidak diberi upah sama sekali," tutur R dengan nada penuh kekecewaan.

Lebih dari sekadar eksploitasi, para CPMI juga diduga mengalami penganiayaan fisik dan verbal yang merendahkan martabat. Dewan Pertimbangan SBMI, Dina Nuryati, mengungkapkan bahwa salah satu korban asal Malang berinisial HA mengalami trauma mendalam akibat perlakuan yang diterima selama berada di penampungan PT NSP.

"Salah satu tindakan yang sangat merendahkan adalah ketika korban HA dipaksa oleh penanggung jawab perusahaan berinisial HNR untuk mencium air kencing anjing," ungkap Dina dengan nada geram. 

Ia menambahkan beberapa CPMI lainnya juga mengalami kekerasan fisik, termasuk pemukulan dan penyiraman mie serta air kopi panas. SBMI pun mendesak agar kasus dugaan penganiayaan terhadap HA yang telah dilaporkan sejak November 2024 segera dituntaskan dan mencapai tahap P-21.

"Sudah enam bulan kasus ini berjalan tanpa kejelasan. Ini sangat mencederai rasa keadilan para korban," ungkap Dina.

Dengan komitmen penuh, SBMI menyatakan akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Mereka telah menerima surat kuasa dari enam korban di Malang dan dua korban lainnya dari Banyuwangi dalam kasus serupa. 

"Kami berharap aparat kepolisian, kejaksaan, dan hakim dapat melihat secara utuh bagaimana teman-teman ini direkrut, ditampung, hingga dieksploitasi. Indikasi TPPO dalam kasus ini sangat kuat," ujar Dina.

Dina juga menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah terhadap proses penempatan pekerja migran, yang dinilai menjadi celah terjadinya praktik perbudakan modern seperti ini. 

"Kejadian dari Banyuwangi ke Malang, dari Palembang juga ke Malang, perekrutan terus terjadi. Lalu, pengawasan pemerintah seperti apa? Semakin panjang jalur yang dilalui, semakin besar pula kerentanan yang dihadapi para calon pekerja migran," kritiknya.

Secara kolektif, para korban dan SBMI mengajukan sejumlah tuntutan, termasuk penghukuman berat bagi para terdakwa HNR dan AB alias Ade, penangkapan RY atas dugaan eksploitasi dan TPPO, penyelesaian segera kasus penganiayaan HA, serta pengembalian seluruh hak korban, termasuk dokumen asli tanpa biaya sepeser pun. 

"Teman-teman ini sangat berharap negara, melalui aparat penegak hukum dan kementerian terkait, benar-benar hadir untuk melindungi warganya yang rentan," pungkas Dina.

Sebelumnya, pihak kepolisian telah menetapkan seorang perempuan berinisial AB (34) sebagai tersangka dalam kasus TPPO ini. Pelaku yang berperan sebagai penjemput CPMI dengan legalitas perusahaan yang tidak lengkap itu kini telah ditahan di Mapolresta Malang Kota.

 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Deny Irwanto)