Konferensi pers SBMI Kota Malang. Metrotvnews.com/ Daviq Umar Al Faruq
Daviq Umar Al Faruq • 29 April 2025 07:46
Malang: Dewan Pertimbangan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Malang kembali angkat bicara menyuarakan keprihatinan atas lambannya penanganan kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melibatkan PT NSP di Kota Malang, Jawa Timur.
Mereka mendesak aparat penegak hukum (APH) bertindak tegas, menghukum pelaku, dan memberikan perlindungan maksimal kepada para korban yang mengalami eksploitasi hingga kekerasan.
"Kami menerima banyak pengaduan sejak Maret lalu. Kasusnya beragam, mulai dari penipuan, eksploitasi kerja tanpa upah, hingga dugaan penganiayaan yang mengarah pada perbudakan modern," kata Perwakilan SBMI Malang, Dina Nuryati, Senin, 28 April 2025.
Dia mengungkapkan praktik eksploitasi terhadap calon pekerja migran Indonesia (CPMI) di wilayah Malang masih terus terjadi.
Banyak korban yang dijanjikan pekerjaan di luar negeri kini terkatung-katung tanpa kejelasan nasib, bahkan menderita tekanan psikologis yang berat akibat perlakuan yang mereka terima.
SBMI Malang mendesak APH segera menindaklanjuti kasus ini dengan serius. Mereka menuntut agar para terdakwa, HNR dan AD, dihukum seberat-beratnya sesuai dengan perbuatan mereka.
Selain itu, SBMI juga mendesak penangkapan ROY, suami dari HNR, yang diduga kuat terlibat dalam eksploitasi pekerja migran.
"Kami juga mendesak APH untuk segera menuntaskan kasus penganiayaan terhadap salah satu korban yang hingga kini belum memasuki tahap P21. Jaringan perdagangan orang dan agen ilegal yang terlibat juga harus diusut tuntas, dan hak-hak korban, baik materiil maupun immateriil, harus segera dikembalikan," tegas Dina.
Lebih lanjut Dina menekankan perlunya pembentukan layanan terpadu satu atap di kantong-kantong buruh migran. Layanan ini diharapkan dapat memastikan proses rekrutmen dan pelatihan CPMI sesuai dengan kebutuhan pekerjaan yang sebenarnya, bukan menjadi kedok untuk praktik eksploitasi terselubung.
"SBMI akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan benar-benar ditegakkan. Negara wajib hadir untuk melindungi setiap warganya," tandas Dina.
Dina memaparkan kronologi kasus ini, di mana sebanyak 47 CPMI menjadi korban. Mereka dijanjikan pekerjaan di Hongkong, namun setelah menyerahkan dokumen penting seperti KTP, KK, ijazah, dan akta kelahiran, mereka justru ditahan dan dieksploitasi di Malang.
Setelah penggerebekan oleh kepolisian, keberangkatan mereka dibatalkan, dan kini para korban menuntut ganti rugi sebesar Rp15 juta per orang atas kerugian materiil dan waktu yang terbuang sia-sia.
Salah satu korban asal Malang berinisial H mengaku mengalami kekerasan fisik yang mengerikan saat bekerja di rumah pelaku HNR.
"Saya dipaksa mencium kencing anjing, disiram mie panas, hingga disiram kopi panas. Saya hanya ingin keadilan. Sudah lebih dari enam bulan proses hukum berjalan, tapi belum ada kejelasan," ungkap H dengan nada pilu.
Korban lain asal Palembang berinisial L menceritakan bahwa teman-temannya dipaksa bekerja di warung milik ROY selama 17 jam sehari tanpa upah sepeser pun. Mereka juga dipaksa mengupas hingga 20 kilogram bawang per orang setiap harinya.
"Kami diperlakukan seperti budak. Kami hanya takut tidak diberangkatkan jika menolak," jelas L.
Akibat kejadian ini, L mengalami kesulitan ekonomi dan terpaksa bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan upah minim untuk menafkahi keluarganya.
Senada dengan korban lainnya, R berharap pihak berwenang segera memberikan hukuman setimpal kepada para pelaku.
"Kami sudah berjuang keras untuk mencari nafkah. Tolong jangan biarkan kasus ini hilang begitu saja," pungkas R dengan nada penuh harap.