Rupiah Turun Tipis ke Rp15.897/USD di Selasa Sore

Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Adam Dwi.

Rupiah Turun Tipis ke Rp15.897/USD di Selasa Sore

Husen Miftahudin • 2 April 2024 16:55

Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan hari ini mengalami pelemahan tipis.
 
Mengutip data Bloomberg, Selasa, 2 April 2024, nilai tukar rupiah terhadap USD ditutup di level Rp15.897 per USD. Mata uang Garuda tersebut turun tipis dua poin atau setara 0,02 persen dari posisi Rp15.895 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
 
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi dalam analisis hariannya memperkirakan nilai tukar rupiah pada perdagangan besok akan kembali mengalami pelemahan.
 
"Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp15.880 per USD hingga Rp15.940 per USD," ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
 
Ia pun membeberkan penyebab ciutnya rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) hari ini, diantaranya sentimen yang berasal dari eksternal maupun internal.
 

ISM manufaktur AS naik

 
Ibrahim menuturkan, pergerakan rupiah hari ini berkaitan erat dengan angka indeks manajer pembelian manufaktur ISM yang secara tak terduga naik ke angka 50,3 dari 47,8. Pembacaan indeks melampaui 50, yang mengindikasikan ekspansi di bidang manufaktur, untuk pertama kalinya sejak September 2022.
 
"Karena produksi meningkat tajam dan pesanan baru meningkat, menyoroti kekuatan perekonomian dan menimbulkan keraguan mengenai waktu penurunan suku bunga The Fed," papar dia.
 
Data manufaktur yang kuat membuat imbal hasil Treasury AS lebih tinggi, dengan imbal hasil obligasi bertenor dua tahun dan 10 tahun naik ke level tertinggi dalam dua minggu, sehingga meningkatkan dolar AS.
 
Menurut Ibrahim, pasar kini memperkirakan peluang sebesar 61 persen bagi The Fed untuk memangkas suku bunga pada Juni, dibandingkan dengan 70 persen pada minggu sebelumnya, menurut CME FedWatch Tool. Mereka juga memperkirakan pemotongan sebesar 68 basis poin tahun ini.
 
"Namun, data ekonomi yang kuat dibandingkan dengan data indeks harga PCE inti, yang merupakan ukuran inflasi pilihan The Fed, yang melambat lebih dari perkiraan pada Februari, menunjukkan kejutan kenaikan inflasi baru-baru ini mungkin merupakan penyimpangan dari tren deflasi baru-baru ini," jelas Ibrahim.
 
Baca juga: Rupiah Tertekan Lagi, Nyaris Sentuh Rp16 Ribu/USD
 

Utang pemerintah naik

 
Di sisi lain, jelas Ibrahim, pasar terus memantau tentang posisi utang pemerintah, yang tercatat berada di angka Rp8.319,2 triliun hingga 29 Februari 2024. Jumlah ini naik dari posisi akhir Januari, yang senilai Rp8.253,09 triliun atau bertambah Rp66,13 triliun dalam kurun waktu satu bulan.
 
Adapun, utang pemerintah ini setara dengan 39,06 persen produk domestik bruto (PDB) dan melanjutkan tren tertinggi sepanjang masa. 
 
Sedangkan, dalam buku APBN Kita edisi Maret 2024 mencatat rasio utang pada Februari masih di bawah batas aman rasio utang sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 17/2023 yang sebesar 60 persen. Pengelolaan portofolio utang berperan besar dalam menjaga kesinambungan fiskal secara keseluruhan. 
 
"Oleh karena itu, pemerintah konsisten mengelola utang secara cermat dan terukur dengan menjaga risiko suku bunga, mata uang, likuiditas, dan jatuh tempo yang optimal. Selain itu, pemerintah mengutamakan pengadaan utang dengan jangka waktu menengah-panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif," jelas Ibrahim.
 
Pengelolaan utang yang disiplin turut menopang hasil asesmen lembaga pemeringkat kredit (S&P, Fitch, Moody’s, R&I, dan JCR) yang hingga saat ini tetap mempertahankan sovereign rating Indonesia pada level investment grade di tengah dinamika perekonomian global dan volatilitas pasar keuangan. 
 
Selain itu, sambung Ibrahim, Bank Indonesia terus melakukan bauran strategi ekonomi guna untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah serta terus melakukan intervensi besar di pasar valuta asing, Obligasi di perdagangan Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), walaupun nantinya akan berimbas terhadap menurunnya cadangan devisa.
 
"Namun apa yang dilakukan oleh BI sudah sesuai dengan regulasi yang bertujuan untuk menahan pelemahan mata uang rupiah, imbas dari kenaikan inflasi global," tutur Ibrahim menekankan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)