Pakar hukum pidana Hery Firmansyah. Dok Tangkapan Layar
Siti Yona Hukmana • 15 September 2024 14:21
Jakarta: Pakar hukum pidana Hery Firmansyah membeberkan upaya yang bisa dilakukan dalam pengajuan judicial review (JR) terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ke Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya itu berupa memajukan umur pelaku agar tidak lagi masuk kategori anak di bawah umur.
"Poin kita adalah melihat apakah perlu ada revisi berkaitan dengan sistem peradilan pidana anak, khususnya tentang umur pelaku. Apakah kemudian bisa dimajukan umur pelaku?" kata Hery dalam program Crosscheck Medcom, Minggu, 15 September 2024.
Hery menuturkan faktanya pelaku kejahatan seperti di Palembang berusia 12 tahun. Meski usia yang masih tergolong muda, tapi perbuatannya sangat keji dan sadis, yakni membunuh dan memerkosa korban yang berusia 13 tahun.
"Maka, ini kritik kita juga hukum itu selalu tertinggal dengan peristiwa konkret. Nah, sudah adalah fakta yang tidak bisa kita elakkan apakah hukum ini akan berdiam saja," ujar Hery.
Hery menjelaskan seseorang dikategorikan anak dalam hukum pidana mulai usia 12-18 tahun. Namun, dalam psikologi memiliki pandangan hukum berbeda, yakni anak usia 11 tahun ke atas sudah dikategorikan dewasa.
"Usia 3-11 itu masih dikategorikan anak. Maka hukum 12 tahun. Ada jeda satu tahun di sana," jelas Hery.
Hery memandang dengan aturan saat ini, hukum hanya menegakkan hak asasi manusia (HAM) bagi pelaku. Namun, tidak ada keadilan bagi keluarga korban yang ditinggalkan.
"Kita lihat betapa sakit hatinya, menderitanya, getirnya seorang ayah yang ditinggalkan oleh anaknya dengan cara yang menurut saya tidak beradab," ujar Hery
Dia mendorong untuk mengajukan JR ke MK. Sehingga, masyarakat tak lagi melihat dengan perspektif yang tidak seimbang. Dia menyadari pidana itu ultimatum remedium, namun tidak boleh juga mengenyampingkan keadilan korban
"Dalam mengaca kasus-kasus seperti ini jika tidak ingin berulang tentunya harus ada satu studi yang dilakukan penelitian sungguh-sungguh yang kemudian itu tidak hanya seperti pemadam kebakaran ketika ada perkara kita duduk lagi di meja seperti ini," ungkapnya.
Sebelumnya, Hery mendorong masyarakat mengajukan JR terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ke MK. Hal ini merespons ketidakadilan bagi keluarga korban pembunuhan dan pemerkosaan pelajar di Palembang.
"Mekanismenya harus konstitusional, maka pendekatan bisa lewat judicial reviewmisalnya ke Mahkamah Konstitusi. Kita bertarung di Mahkamah Konstitusi," kata Hery.
Seorang siswi SMP berusia 13 tahun menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan di Palembang, Sulawesi Selatan. Pelaku berinisial MZ (13), MS (12), AS (12) yang merupakan pelajar SMP, dan IS (16) berstatus pelajar SMA di Palembang.
Tiga tersangka selain IS tidak ditahan. Polrestabes Palembang menyerahkan mereka ke panti rehabilitasi di kawasan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan (Sumsel).
"Undang-Undang melindungi mereka dari terpencil mengingat usia dan status mereka sebagai anak-anak,” kata Kapolrestabes Palembang, Kombes Harryo Sugihhartono, Jumat, 6 September 2024.
Harryo mengatakan ketiga pelaku akan dibina sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 32 dengan status Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Selain itu, pertimbangan hukum polisi juga menggunakan pertimbangan keselamatan jiwa dari ketiga pelaku.
Pemberian hukuman bagi anak pelaku kejahatan ini dinilai tidak adil, meski diatur dalam UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sebab, kejahatannya terbilang sadis yakni membunuh dan memperkosa korban yang telah menjadi jenazah.