Media Indonesia • 11 September 2025 06:42
SETELAH sejak 2010 masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR, RUU tentang Perampasan Aset akhirnya akan dibahas dewan dan pemerintah. Ya, 15 tahun lamanya RUU itu bercokol di laci meja DPR dan baru sekarang akan dibahas. Itu pun setelah parlemen jalanan bersuara karena sudah geregetan melihat parlemen kantoran yang cuma duduk manis selama ini.
Digagas oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2008, RUU itu dipandang sebagai salah satu terobosan negeri ini dalam memberantas korupsi. Bagaimana tidak, beleid itu akan menggunakan konsep non-conviction based asset forfeiture (NCB), yang memungkinkan pemulihan aset negara segera dilakukan tanpa harus menunggu putusan peradilan berkekuatan hukum tetap. Sederhananya, undang-undang itu memungkinkan uang negara yang dicoleng koruptor cepat kembali.
Hati para koruptor, termasuk yang baru niat jadi koruptor, tentu jadi kecut dibuatnya. Harta hasil korupsi bisa langsung dirampas negara meski hakim pengadilan belum ketuk palu.
Kita perlu mengapresiasi keputusan DPR dan pemerintah yang pada akhirnya akan mulai membahas aturan itu. Legislatif dan eksekutif bahkan merencanakan beleid tersebut bisa disahkan pada tahun ini juga yang terhitung tinggal tiga bulan lagi.
Jika berkaca pada ngebutnya pembahasan RUU TNI yang berlangsung sekitar sebulan, kecepatan pembahasan sebuah RUU oleh DPR dan pemerintah tentu tak perlu diragukan lagi. RUU TNI mulai dibahas setelah Rapat Paripurna DPR pada 18 Februari 2025 dan disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang pada 20 Maret 2025. Ekspres betul, bukan?
Karena itu, tak ada alasan untuk menyangsikan kemampuan ekspres mereka. Namun, poin yang perlu disangsikan ialah kualitas dari produk bahasan, apakah sesuai hati nurani masyarakat? Ngebutnya pembahasan RUU Perampasan Aset itu yang perlu menjadi perhatian bersama.
Selama 15 tahun RUU itu mengendap di laci DPR bisa menjadi cermin keengganan para wakil rakyat menyetujuinya. Jika saat ini DPR dan pemerintah berbalik sikap dan segera akan menyetujuinya, di situ pertanyaan substantifnya muncul, bakal seperti apa kualitasnya nanti?
Di sini perlunya transparansi pembahasan nanti ke publik. Tidak boleh ada yang disembunyikan. Pun, tak cuma transparan, publik juga harus dilibatkan secara aktif dan bermakna untuk memberi masukan. Apalagi, RUU yang digadang-gadang menjadi palu godam bagi koruptor itu akan berkaitan erat dengan norma-norma yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), 'kitab sucinya' hukum pidana yang dianut Indonesia.
Di KUHAP, pengadilan harus lebih dulu dapat membuktikan terjadinya sebuah kejahatan dengan dua alat bukti yang sah untuk menyatakan seseorang bersalah. Jika tak terbukti, tak ada alasan bagi negara merampas hak individu warga negaranya.
Adapun di RUU Perampasan Aset, bukan hanya harta tersangka korupsi, semua aset yang diduga didapat dari kejahatan dan tidak bisa dibuktikan asal-usulnya pun bisa dirampas oleh negara, tanpa perlu menunggu putusan pengadilan.
Tentu akan ada pembahasan untuk menyelaraskan perampasan aset tanpa perlu menunggu putusan pengadilan. Di sini kepiawaian para ahli hukum yang menjadi wakil rakyat di DPR diuji.
Namun, yang pasti, keberadaan UU Perampasan Aset sudah mendesak saat ini. Jika berkaca dari data KPK pada 2024, total kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp45,7 triliun. Akan tetapi, pemulihan aset melalui mekanisme yang ada baru sekitar Rp2,5 triliun dalam kurun waktu 2020-2024. Artinya, sebagian besar harta negara itu hingga kini masih dikuasai para koruptor.
Karena itu, kita dorong para wakil rakyat untuk lebih mengutamakan kualitas pembahasan, bukan hanya target waktu yang harus dikejar. Sebab, perlu diingat, gerakan parlemen jalanan akan kembali bertindak jika parlemen kantoran tak berfungsi.