Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan survei terbaru di bidang hukum. Foto: Dok LSI
Jakarta: Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan survei terbaru di bidang hukum. Salah satu yang mencuat dari hasil survei ini yakni 77,2 persen responden menyatakan penyidik perkara kriminal kerap tidak memberikan akses informasi hasil penyelidikannya kepada orang tersangkut masalah hukum.
Survei dilakukan pada 20 Mei hingga 12 Juni 2025. Peneliti LSI Yoes C Kenawas menyampaikan mayoritas responden, yaitu 88,1 persen setuju Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memasukkan informasi perkembangan setiap perkara kriminal dari awal hingga akhir dan harus tersedia dalam bentuk digital.
"Dengan begitu, masyarakat dapat memantau atau mengakses perkembangan sesuai UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Perlindungan Data Pribadi," ujar Yoes, melalui keterangan tertulis, Kamis, 26 Juni 2025.
Khawatir dibebani biaya besar
Terkait penegakan hukum, survei LSI ini juga mendapati masyarakat masih khawatir dibebani biaya tambahan saat berurusan dengan aparat penegak hukum. Tercatat sebanyak 68,3 persen responden menyatakan tidak setuju bahwa mereka tak perlu khawatir harus membayar biaya tambahan kepada aparat penegak hukum di luar biaya yang sudah ditetapkan.
"Hanya 29,7 persen yang menyatakan setuju tak ada kekhawatiran adanya pungli di luar biaya yang telah ditentukan,"kata Yoes.
Pada survei sebelumnya, hampir seluruh responden mengaku telah mengetahui perihal RUU KUHAP yang saat ini tengah dibahas DPR dan pemerintah. Hanya 1 persen responden yang menjawab tak mengetahui. Meski memiliki pengetahuan atas pembahasan RUU KUHAP, namun responden menilai hal itu bukan karena sosialisasi pemerintah dan DPR.
"Sebanyak 70,3 persen responden justru menilai pemerintah dan DPR belum cukup melakukan sosialisasi perubahan KUHAP," kata dia.
Publik butuh keterbukaan
Survei juga mendapati 99% responden setuju penyidik punya kewajiban memberitahukan kepada orang yang ditangkap tentang hak-haknya. Termasuk, bagaimana mengakses hak-hak tersebut.
Keberadaan wadah atau mekanisme untuk menyampaikan keberatan bagi orang yang dipanggil atau didatangi aparat penegak hukum tanpa status tersangka, saksi, atau korban turut jadi sorotan dalam survei ini. Hasilnya, 78,2 persen menilai perlu ada wadah atau saluran keberatan tersebut.
Peneliti LSI ini menyampaikan sebanyak 69,3 persen responden menyatakan perlu adanya pengaturan dalam KUHAP mengenai batas maksimal waktu penyelidikan.
"Dari responden itu, lebih dari separuhnya (55.7 persen) merasa bahwa maksimal kurang dari tiga bulan waktu penyelidikan sebuah dugaan kasus tindak pidana dilakukan," kata dia.
Yoes juga menjelaskan mayoritas masyarakat sipil dan praktisi hukum mendesak adanya kesetaraan penyidik harus jadi bagian penting dalam RUU KUHAP. "Sebanyak 70,3 persen responden menyatakan kesetaraan penyidik perlu masuk RUU KUHAP.
Sebanyak 26,8 persen responden menyatakan kesesuaian kompetensi sebagai alasan terbesar dari pentingnya kesetaraan penyidik. "Ägar ada check and balances dan terciptanya sistem peradilan yang ideal," kata Yoes.
Perlu kesetaraan penyidik
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, mengatakan bila penyidikan dijadikan kewenangan tunggal Polri, potensi terjadinya hambatan dalam penegakan hukum, khususnya di sektor-sektor terntu akan sangat besar.
"Memang tadi orang ditempatkan tidak secara profesional pasti ada dong hambatan-hambatan atau ada kekeliruan sudut pandang. Kan repot untuk menjelaskan sesuatu yang bukan pada bidangnya, padahal ada orang yang sudah atau negara sudah rekrut untuk keahlian-keahlian tertentu, latar belakang pendidikan khusus tertentu," kata Azmi.
Dia menambahkan, ibarat pisau, ketajaman pengetahuan atas keahlian tertentu dikemukankannya akan membuat penegak hukum lebih detail dalam menangani perkara.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) ini mengingatkan bahwa kepercayaan masyarakat atas penegakan hukum menurutnya akan terpengaruh bila seluruh penyidik harus di bawah koordinasi Polri. Sementara, penyidik lain telah memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan.
"Kesetaraan kan artinya ada keseimbangan dan tidak ada yang mendominasi karena sudah ada pada fungsi dan kedudukannya masing-masing dan ada undang-undangnya masing-masing," kata Azmi.