Penanganan Kasus Agus Tunadaksa Dinilai Bentuk Perlindungan terhadap Kelompok Rentan

Ilustrasi. Medcom

Penanganan Kasus Agus Tunadaksa Dinilai Bentuk Perlindungan terhadap Kelompok Rentan

Siti Yona Hukmana • 18 December 2024 14:07

Jakarta: Penanganan kasus dugaan kekerasan seksual yang diduga dilakukan penyandang disabilitas Iwas alias Agus di Nusa Tenggara Barat (NTB), dinilai bentuk Polri telah melindungi kelompok rentan, seperti perempuan dan disabilitas. Berdasarkan data menunjukkan disabilitas, terutama perempuan, lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual

"Dalam kasus yang terjadi di NTB, seorang penyandang disabilitas justru menjadi pelaku, dengan korban yang semakin banyak mengadukan pelaku dengan kasus serupa," kata Direktur Eksekutif CENTRA Initiative Muhammad Hafiz dalam keterangan tertulis, Rabu, 18 Desember 2024.

Hafiz memandang responsif polisi atas pelaporan salah seorang korban berhasil mendorong korban-korban lain melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Total 17 perempuan yang mengaku menjadi korban Agus.

"Dengan adanya pengaduan ini, bisa dikatakan korban berada pada kondisi nyaman dan aman untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya," ujar Hafiz.

Hafiz mengatakan dari proses penyelidikan dan penyidikan terlihat penegak hukum, terutama kepolisian, telah memiliki perspektif yang cukup memadai. Setidaknya, kata dia, untuk memastikan adanya keterlibatan dari Komisi Nasional Disabilitas NTB dalam proses penyelidikan.

Hafiz mengatakan kepolisian telah memastikan hak-hak Agus sebagai pelaku penyandang disabilitas, seperti penangguhan penahanan. Namun, tetap fokus pada skema pembuktian perkara dan menjaga independensi proses peradilan.

"Setidaknya, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan," ujar dia.
 

Baca Juga: 

Korban Ungkap Ibu Tersangka IWAS Tahu Perbuatan Anaknya


Hafiz menyebut adanya pemahaman yang memadai aparat penegak hukum ini, tidak dapat dipisahkan dari beberapa hal. Di antaranya dukungan dan kepercayaan publik kepada kepolisian untuk tetap berlaku adil dan akuntabel dalam penegakan hukum, terutama kekerasan seksual.

Selain itu, upaya kepolisian membangun skema koordinasi dengan lembaga penegak hukum lain, organisasi penyandang disabilitas, termasuk penyedia layanan. Kemudian, meningkatkan efektivitas penanganan kasus yang lebih inklusif dan partisipatif.

"Dari sisi internal, sejumlah diklat dan penguatan di internal kepolisian setidaknya telah cukup terbukti dalam penanganan kasus Agus di NTB ini," papar dia.

Hafiz memberikan catatan soal langkah lanjutan penegakan hukum inklusif. Seperti, penguatan kebijakan kepolisian yang menjadi rujukan dalam proses penegakan hukum, terutama di tahap penyidikan dan penyelidikan.

"Kebijakan ini setidaknya menjadi pedoman bagi kepolisian ketika menangani situasi-situasi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban maupun pelaku tindak pidana," ucap dia.

Kemudian, meningkatkan kapasitas dan jumlah personel yang memiliki pemahaman dan keterampilan. Termasuk, kemampuan bahasa isyarat sebagai prasyarat pencapaian sistem penegakan hukum yang inklusif.

Terakhir, meningkatkan sarana dan prasarana aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Seperti, mengaudit infrstruktur akses di seluruh unit kerja kepolisian, menyusun roadmap pelaksanaan, dan targetnya.

"Serta, secara kolaboratif dan partisipatif dengan organisasi penyandang disabilitas untuk mewujudkannya," ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)