Ilustrasi. Foto: dok MI.
M Rodhi Aulia • 26 March 2025 17:43
Jakarta: Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali anjlok, bahkan mencapai level terendah sejak krisis moneter 1998. Mata uang Garuda sempat menyentuh Rp16.640 per dolar AS sebelum ditutup di Rp16.611 per dolar AS pada Selasa, 25 Maret 2025. Situasi ini menimbulkan berbagai respons dari pemerintah dan Bank Indonesia (BI).
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kuat, sementara BI menyebut faktor global sebagai penyebab utama. Lalu, apa saja fakta di balik kejatuhan rupiah ini? Simak lima poin berikut.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku tak terlalu khawatir dengan anjloknya rupiah. Ia menyatakan bahwa kondisi pasar sudah mulai membaik dan fundamental ekonomi tetap kokoh.
"Ya kan ini harian kan, nanti kita lihat. Kan fundamental ekonomi kuat, pasar juga sudah rebound. Kemarin ekspektasi mengenai RUPS Mandiri dan BRI kan baik outcome-nya," ujar Airlangga di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 26 Maret 2025.
Baca juga: Di Tengah Pelemahan Rupiah, Presiden Prabowo Panggil Menko Perekonomian hingga Menkeu
Saat ditanya apakah pemerintah akan menelusuri penyebab merosotnya rupiah, Airlangga tak memberikan jawaban konkret. Bahkan, ia tidak mengungkapkan apakah isu ini akan dibahas bersama Presiden Prabowo Subianto atau tidak.
"Kalau rupiah kan naik turun, biasa saja," katanya singkat.
Menurut Bank Indonesia, pelemahan rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal. Kebijakan ekonomi Donald Trump setelah kembali menjabat sebagai Presiden AS menjadi salah satu pemicu utama.
"Hal ini membuat US dollar kembali menguat terhadap sebagian besar mata uang lain dan yield UST (US Treasury) kembali meningkat," jelas Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Fitra Jusdiman.
Selain faktor global, BI juga mencatat bahwa kebutuhan valuta asing dari korporasi meningkat menjelang libur Lebaran. Banyak perusahaan melakukan pembayaran atau repatriasi dividen, yang berkontribusi terhadap melemahnya rupiah.
Untuk menjaga rupiah agar tidak jatuh lebih dalam, BI mengambil langkah strategis dengan melakukan intervensi di tiga sektor: pasar spot, domestic non-deliverable forward (DNDF), dan surat berharga negara (SBN).
"Itu akan dilakukan secara bold dan terukur untuk memastikan stabilitas nilai tukar dan keseimbangan demand/supply valas, sehingga dapat menjaga market confidence," tegas Fitra.
Meski rupiah sedang terpuruk, baik pemerintah maupun BI tetap optimistis bahwa perekonomian Indonesia masih stabil. Namun, apakah langkah-langkah ini cukup untuk menahan tekanan global? Kita lihat perkembangan selanjutnya!