Podium: Daerah Defisit Kepemimpinan

Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. (Ebet)

Podium: Daerah Defisit Kepemimpinan

Media Indonesia • 13 October 2025 07:35

PELAUT tangguh tidak lahir dari laut yang tenang. Begitu pula kepala daerah tangguh. Mereka lahir dari badai krisis fiskal, bukan dari kenyamanan anggaran yang melimpah.

Pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) dalam APBN 2026 menjadi uji nyali bagi kepemimpinan lokal. Ketika gelombang fiskal menghantam, hanya kepala daerah yang memiliki visi, strategi, dan keberanian yang mampu bertahan dan tetap membawa kapal pembangunan ke arah yang benar.

TKD di APBN 2026 turun sekitar Rp155 triliun jika dibandingkan dengan alokasi di APBN 2025. Di APBN 2025, alokasi TKD senilai Rp848 triliun. Adapun di APBN 2026, alokasinya turun menjadi Rp650 triliun sebelum kemudian dinaikkan Rp43 triliun menjadi Rp693 triliun.

Sebagian besar kepala daerah merespons pemangkasan TKD itu dengan keluhan, bukan solusi. Mereka sibuk menyalahkan pusat, alih-alih menggali potensi lokal. Padahal, pendapatan asli daerah (PAD) ialah jangkar kemandirian fiskal sesungguhnya.

Sebanyak 18 kepala daerah menggeruduk Kementerian Keuangan pada Selasa, 7 Oktober 2025. Para kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) menemui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Mereka bukan sekadar protes, melainkan juga menjerit.

Krisis fiskal seharusnya menjadi titik balik, bukan titik lemah. Kepala daerah yang tangguh akan memperkuat sektor pajak dan retribusi, mendorong investasi, mengembangkan pariwisata, dan memberdayakan UMKM. Mereka tidak menunggu dewa penolong TKD, tetapi membangun fondasi ekonomi lokal yang kukuh dengan menebalkan angka pendapatan asli daerah (PAD).

Kepala daerah perlu memaksimalkan dana, bukan mencari rente dengan mengendapkan dana di perbankan. Dana daerah yang mengendap di perbankan per Agustus 2025 mencapai Rp233,11 triliun--angka tertinggi sepanjang sejarah. Itu menunjukkan persoalan bukan hanya soal jumlah dana, melainkan juga soal kapasitas pengelolaan dan prioritas belanja.
 

Baca Juga: 

Mendagri: Pemerintah Pusat Siap Bantu Pemda yang Kesulitan Soal Pengalihan TKD


Selain membayar gaji, pemerintah daerah dibebani kewajiban memberikan tambahan penghasilan pegawai (TPP) kepada aparatur sipil negara, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ironisnya, di tengah pemangkasan TKD, rata-rata kabupaten masih mengalokasikan TPP hingga Rp50 juta per bulan hanya untuk sekretaris daerah.

Besaran TPP itu patut ditinjau ulang. Bukan semata soal efisiensi, melainkan juga soal keadilan fiskal dan prioritas anggaran. Ketika rakyat diminta berhemat, birokrasi pun harus tahu diri.

Sudah saatnya kita mengubah cara menilai kepala daerah. Bukan dari seberapa lantang mereka bersuara di pusat sampai urat leher putus, melainkan dari seberapa kuat mereka mengarungi badai fiskal dengan solusi konkret berdasarkan kearifan lokal.

Kepala daerah ialah nakhoda pembangunan. Ketika anggaran dari pusat menyusut, mereka dituntut untuk tidak panik, apalagi hanya mengeluh. Justru inilah saatnya menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang sesungguhnya, yaitu menggali potensi lokal, memperkuat PAD, dan membangun sistem ekonomi yang tahan banting, sistem ekonomi yang tahan tabola-bale TKD.

Tiba saatnya pemerintah pusat dan daerah duduk bersama, tidak hanya untuk membahas angka TKD, tapi juga untuk merumuskan ulang relasi fiskal yang sehat, adil, dan berkelanjutan. Merumuskan kemandian fiskal daerah.

Kemandirian fiskal diukur melalui membandingkan antara PAD dan total pendapatan daerah pada tahun anggaran berjalan. Semakin tinggi PAD jika dibandingkan dengan dana transfer, semakin tinggi derajat kemandirian fiskal daerah.



Fakta jauh panggang dari api. Data yang disodorkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bikin mulut ternganga-nganga karena ketergantungan mutlak daerah terhadap TKD.

Tito mengungkapkan sebanyak 450 daerah di Indonesia masih menengadahkan tangan meminta dana dari pemerintah pusat, seperti Papua Pegunungan yang hanya memiliki pendapatan asli daerah, atau PAD, sebesar 8,47% dan sisanya, 89,29%, ialah pendapatan transfer pusat.

Selain itu, ada Aceh yang hanya memiliki PAD sebesar 26,48% dengan ketergantungan dana pusat sebanyak 73,50%. Kemudian, Gorontalo yang hanya menghasilkan PAD sebanyak 22,95% dengan porsi ketergantungan terhadap dana pusat mencapai 77,02%.

Fakta lain bikin dahi berkerut mata terbelalak. Dari 548 daerah otonom di Indonesia, hanya 4,76% yang memiliki kapasitas fiskal kuat. Sebanyak 27 daerah berada pada kategori sedang dan 439 daerah masuk kategori lemah.

Kondisi yang bikin mengelus dada terjadi di tingkat kabupaten. Dari 415 kabupaten, hanya 4 kabupaten (1%) yang memiliki kapasitas fiskal kuat, 4 kabupaten berkapasitas sedang, sedangkan 407 kabupaten (98%) masuk kategori lemah. Sementara itu, dari 98 kota, hanya 11 kota (12%) yang memiliki kapasitas fiskal kuat, 12 kota (13%) berkapasitas sedang, dan 70 kota (75%) masih lemah.

Pertanyaan paling mendasar ialah apa saja yang telah dikerjakan kepala daerah selama ini? Mereka hanya lihai menghabiskan uang daerah ketimbang menggali sumber PAD. Mereka lebih cerdik mengisi kembali pundi-pundi yang terkuras saat pilkada.
 
Baca Juga: 

Dana Transfer Daerah Kabupaten Cirebon Kena Pangkas Rp300 Miliar


Kepala daerah yang mampu meningkatkan PAD ialah mereka yang memiliki kepemimpinan visioner, strategis, dan berdampak nyata bagi kesejahteraan rakyat. Bukan mereka yang sibuk mengumbar senyum bisnis di media sosial, tapi minim solusi di lapangan.

Lengkaplah sudah, daerah defisit kepemimpinan, tapi surplus penguasa. Negeri ini tak kekurangan pejabat, tapi kekurangan pemimpin. Yang kita butuhkan bukan raja-raja kecil di daerah, melainkan pelaut tangguh yang berani menantang badai fiskal dengan panduan kemandirian.

(Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)