Parlemen Jangan Cemen

Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. MI/Ebet

Parlemen Jangan Cemen

Media Indonesia • 3 October 2024 07:28

AKAN seperti apakah DPR yang baru ini? Pertanyaan itu terus menguat, terutama setelah pelantikan anggota DPR periode 2024-2029 pada Selasa, 1 Oktober 2024, kemarin. Apakah kinerja mereka akan berubah atau malah sama saja seperti DPR periode lalu yang tampak kedodoran menjalankan tiga pilar fungsi mereka, utamanya sisi pengawasan dan legislasi?

Salah satu kunci jawabannya barangkali akan muncul dari keputusan partai pemenang Pemilu 2024, yaitu PDIP, terkait dengan posisi mereka pada pemerintahan nanti. Hingga hari ini masih menjadi misteri apakah PDIP bakal bergabung dengan koalisi pendukung pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka atau tidak. Rencana pertemuan Prabowo dengan Megawati Sukarnoputri pun masih berkutat sebatas spekulasi.

Suka tidak suka, wajah DPR akan ditentukan oleh keputusan itu. Saat ini PDIP merupakan satu-satunya parpol yang berada di luar koalisi gendut pendukung Prabowo-Gibran. Merekalah yang sebetulnya digadang-gadang publik bisa mengambil standpoint sebagai oposisi untuk mengimbangi kekuatan besar koalisi pemerintah. 

Kalau PDIP 'kuat iman' dan tidak tergoda masuk koalisi, barangkali parlemen masih memiliki taji dan sumber daya untuk mengontrol pemerintah. Apalagi, kader andalan mereka, Puan Maharani, juga baru saja terpilih kembali menjadi Ketua DPR. Semestinya PDIP punya keberanian lebih untuk mengambil jarak dari koalisi pemerintah meskipun harus menjadi single fighter.

Namun, bila pada akhirnya PDIP memutuskan ikut bersekutu dengan koalisi, secara teori sudah pasti tidak akan ada oposan di parlemen. Kerja DPR nantinya mungkin hanya formalitas belaka karena semua parpol di parlemen sudah menjadi bagian dari kekuasaan. Tidak akan ada perlawanan, tak akan muncul daya gebrak, minus kontrol terhadap pemerintah. 
 

Baca Juga: 

Puan Janji Buka Lebar Ruang Partisipasi Publik, Terwujudkah?


DPR berpotensi sekadar menjadi paduan suara yang hanya tahu nyanyian lagu setuju, persis seperti yang digambarkan musikus Iwan Fals dalam lirik lagu Surat buat Wakil Rakyat rilisan 1987 silam. Parlemen yang seharusnya kuat dan berani menggebuk kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat bisa-bisa malah menjadi parlemen cemen.

Kalau itu yang terjadi, yakinlah DPR baru yang akan bekerja sampai lima tahun ke depan itu tidak akan berbeda dengan sebelumnya, bahkan bisa jadi lebih parah. Ketika DPR berpusat dalam satu kekuatan yang menempel pada eksekutif, kita akan dengan mudah menebak bahwa fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran yang dimiliki DPR bakal tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dari sisi pengawasan, misalnya. Jangan heran bila kejadian seperti pada Pemilu 2024 lalu ketika para elite di lingkar kekuasan mempertontonkan pengkhianatan terhadap undang-undang dan konstitusi tanpa kontrol dari parlemen akan terulang lagi. Begitupun saat ada kebijakan dan perilaku yang nyata-nyata membungkam sekaligus merusak demokrasi, sangat mungkin akan kembali lolos dari pengawasan.

Lalu, dari sisi legislasi. Pembiaran DPR terhadap sejumlah rancangan undang-undang yang sejatinya bagus dalam konteks kepentingan publik, tapi tidak berdampak kepada kepentingan mereka atau elite kekuasaan sepertinya akan terus terjadi.

Begitupun terhadap RUU yang sebenarnya dibutuhkan penegak hukum sebagai suplemen pemberantasan korupsi, tampaknya tidak akan ada kabar baik. Dengan beragam dalih, DPR akan melewatkan pembahasan dan pengesahan RUU semacam itu. Namun, sebaliknya, giliran RUU-RUU yang berkaitan erat dengan kepentingan oligarki, para legislator sangat gercep membahasnya.

Situasi seperti itu, sekali lagi, terjadi apabila kekuatan penyeimbang di parlemen betul-betul nihil. Maka itu, seperti di awal tulisan tadi, untuk menjawab pertanyaan bakal seperti apa DPR yang sekarang, salah satu kuncinya ada di langkah PDIP. 

Betul, tidak ada jaminan juga bahwa ketika PDIP memutuskan menjadi oposan lalu DPR akan otomatis menjadi lebih baik. Siapa, sih, yang bisa menggaransi pikiran dan omongan politisi? Akan tetapi, setidaknya publik masih punya simpanan kekuatan di Senayan, meskipun minoritas, untuk bisa menyampaikan suara mereka lewat jalur formal di parlemen.
 
Baca Juga: 

DPR Periode Baru Dituntut Segera Sahkan RUU Perampasan Aset


Muncul pertanyaan, adilkah publik menggantungkan baik dan buruknya nasib DPR di pundak PDIP sendirian? Ya, adil-adil saja, kalau menurut saya. Toh, PDIP bukan partai kemarin sore yang tak punya basis massa sebagai kekuatan utama. Loyalitas pendukung menjadi modal PDIP membangun kekuatan hingga disegani lawan-lawan politik mereka.

Mereka bahkan sudah teruji sebagai oposisi yang kritis ketika era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ada kekuatan, ada pengalaman, kurang apa lagi? Lagi pula PDIP sesungguhnya juga bisa menabung keuntungan elektoral bila memilih sikap sebagai oposan. Mereka akan memperoleh dukungan suara rakyat sendirian sebagai partai oposisi.

Jadi, masak publik tidak boleh berharap kepada partai berlambang banteng itu untuk paling tidak membuat warna dan dinamika di DPR lebih berimbang? Mestinya lumrah saja kalau saat ini masyarakat menggantungkan semua itu ke punggung dan pundak PDIP, semata-mata demi mewujudkan parlemen yang kuat, bukan parlemen yang lemah dan cemen.

(Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)