Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan Butuh Komitmen Kuat Semua Pihak

Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie). Dok Medcom.id

Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan Butuh Komitmen Kuat Semua Pihak

Achmad Zulfikar Fazli • 20 November 2024 19:23

Jakarta: Upaya penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan menuntut komitmen kuat semua pihak. Hal ini untuk mewujudkan amanat konstitusi guna melindungi dan menjamin hak hidup setiap warga negara. 

"Membiarkan kekerasan terhadap perempuan terus terjadi sama saja mengancam kehidupan satu generasi. Langkah-langkah konkret harus segera diambil untuk mencegah dan menghapuskan tindak kekerasan terhadap perempuan," kata Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat, saat membuka diskusi daring dengan tema Indonesia Darurat Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 20 November 2024. 

Rerie, sapaan akrab Lestari, mengatakan sejumlah perundangan-undangan dan aturan pelaksanaan untuk pencegahan tindak kekerasan sudah tersedia. Namun, para pelaksananya belum bisa bekerja secara maksimal. Sehingga, kata dia, angka kasus kekerasan terhadap perempuan per Juli 2024, berdasarkan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencapai 12.576 kasus. 

Menurut dia, peringatan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di seluruh dunia pada 25 November bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk memperbaharui komitmen para pemerhati masalah perempuan, para pendukung, dan para pemangku kebijakan untuk konsisten mewujudkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. 

Selain itu, momentum kampanye 16 hari penghapusan kekerasan terhadap perempuan bisa dimanfaatkan untuk meminta pertanggungjawaban para aktor kunci dan pemangku kepentingan untuk konsisten mendukung berbagai upaya mengakhiri berbagai siklus kekerasan. Apalagi, tegas Rerie, saat ini terjadi kekerasan berbasis gender secara daring yang juga menyasar perempuan. 

Rerie mengingatkan kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi di lingkungan terdekat dengan relasi kuasa tertentu, yang biasanya berakhir damai. Sehingga, korban tidak mendapatkan keadilan. 
 

Baca Juga: 

Revisi UU PKDRT Dinilai Perlu Ikuti Perkembangan


Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong negara harus segera mengambil peran untuk menjamin hak hidup, keamanan, dan kebebasan setiap warga negara yang merupakan amanat konstitusi. 

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengungkapkan pihaknya merupakan lembaga negara independen yang diamanatkan menegakkan hak asasi perempuan Indonesia. Siti mengakui berdasarkan pelaporan masyarakat yang diterima Komnas Perempuan, pada ranah personal kekerasan secara psikis mendominasi kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan, di ranah publik kekerasan seksual mendominasi kekerasan terhadap perempuan. 

Menurut Siti, bentuk kekerasan terhadap perempuan yang mendominasi pada 2023, yaitu kekerasan psikis, seksual, fisik dan ekonomi. Saat ini, ungkap Siti, muncul fenomena femisida, yaitu kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang berakhir dengan kematian. Sebagai contoh penganiayaan yang dilakukan suami atau pacar menyebabkan kematian. 

Selain itu, negara berpotensi menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan, melalui kebijakan dan aturan yang diterapkan. Kebijakan yang menimbulkan kerusakan sumber daya alam, misalnya, bisa memicu tindak kekerasan terhadap perempuan. 

Menurut dia, kondisi tersebut menyebabkan kompleksitas kasus kekerasan terhadap perempuan. Dia mengakui upaya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan masih terfokus pada pemenuhan aturan hukum dan kelembagaan hukum yang mendukung. Dukungan pemerintah daerah juga dinilai belum optimal dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. 

Dalam kesemoatan yang sama, Direktur Tindak Pidana PPA dan PPO, Bareskrim Polri, Brigjen Desy Andriani, mengakui baru 30 persen-40 persen kasus kekerasan terhadap perempuan yang dapat diselesaikan. Desy mengungkapkan pihaknya sedang melakukan penataan secara kelembagaan dalam upaya membangun pelayanan dan penanganan yang lebih baik terkait kasus kekerasan terhadap perempuan. 

"Kami terus berupaya memberikan solusi dalam setiap penanganan kasus. Feminisida merupakan tantangan yang harus kami hadapi," ujar dia. 
 
Baca Juga: 

Hindari Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Pilkada 2024, Polri Perkuat Preventif


Selain itu, tambah Desy, perempuan berhadapan dengan hukum harus mendapatkan perhatian serius dalam penanganannya, sesuai dengan hukum yang berlaku. Desy mengakui pihaknya membutuhkan data yang terintegrasi terkait tindak kekerasan terhadap perempuan dalam upaya peningkatan penanganan kasus. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)