Reformasi Polri dan Jejak Absolutisme

Ilustrasi Polri. Foto: Dok/MI

Reformasi Polri dan Jejak Absolutisme

12 December 2025 13:37

Oleh: Safriady*
 
Di banyak negara demokrasi, polisi adalah cermin paling jujur tentang bagaimana kekuasaan bekerja. Mereka tampak setiap hari di jalan, di tengah masyarakat, di layar televisi, bahkan di ruang digital tempat publik berinteraksi. Namun, di balik seragam dan wewenang yang melekat, tersimpan sebuah struktur besar yang selama puluhan tahun tidak banyak berubah.

Max Weber menyebut negara sebagai pemegang monopoly of legitimate violence dan polisi adalah aktor utama yang menjalankan monopoli tersebut. Di sinilah kualitas demokrasi diuji, bukan hanya melalui pemilu, tetapi melalui bagaimana kekuasaan koersif dijalankan dan diawasi.

Dalam konteks Indonesia, Polri berdiri sebagai institusi yang kuat, tetapi membawa struktur dan kewenangan yang tidak lazim dalam demokrasi modern, ia memperlihatkan Polri memegang fungsi penegakan hukum, keamanan internal, pengawasan digital, administrasi publik, hingga intelijen domestik semua berada dalam satu rantai komando vertikal tanpa mekanisme pembatas eksternal yang kuat.

Penulis mencoba mengurai sedikit bagaimana dukungan terhadap reformasi Polri harus diwujudkan secara tuntas sesuai dengan agenda pemerintah. Reformasi tidak bisa berhenti pada seruan moral atau perubahan kosmetik yang hanya menyentuh permukaan. Hal ini memerlukan keberanian politik untuk menyentuh inti persoalan yakni struktur kekuasaan yang terlalu terpusat, fungsi yang tumpang tindih, serta sistem pengawasan yang belum memadai. Pada titik ini, reformasi Polri bukan sekadar proyek birokrasi, melainkan proyek demokrasi yang akan menentukan arah hubungan negara-warga di masa depan. 
 

Polri sebagai Leviathan Keamanan

 
Dalam teori police power, Mark Neocleous menjelaskan bahwa kekuasaan polisi bukan sekadar penegakan hukum, tetapi “arsitektur ketertiban” yang menentukan batas kebebasan warga. Semakin terpusat kekuasaan tersebut, semakin besar risiko lahirnya bentuk-bentuk absolutisme baru dalam negara demokratis.

Model Polri hari ini mendekati apa yang disebut literatur sebagai high command police regimen sebuah struktur ketika polisi tunduk hanya pada komando vertikal tanpa counterweight horizontal dari pemerintah lokal, badan independen, atau pengadilan. Reiner, salah satu teoritisi polisi demokratis, menegaskan bahwa struktur seperti ini mudah tergelincir pada politisasi dan ketidakseimbangan kekuasaan. 
 
Di negara demokratis, kekuasaan polisi yang besar harus disebarkan, bukan dipusatkan. Itulah mengapa Inggris memecah kepolisian menjadi 43 otoritas lokal, Amerika Serikat memiliki lebih dari 17.000 lembaga polisi, Jepang menempatkan warga sipil sebagai ketua Public Safety Commissions sedangkan Jerman memecah polisi ke 16 Landespolizei agar tidak ada satu institusi yang memonopoli kekuasaan keamanan.
Prinsip yang berlaku di semua negara tersebut sama yaitu fragmentasi adalah mekanisme dasar demokrasi untuk mencegah lahirnya kekuasaan koersif yang absolut. Namun Indonesia justru melakukan kebalikannya.

Warisan Otoritarian dan Teori Path Dependency


Warisan panjang yang membentuk Polri hari ini tidak berdiri di ruang kosong. Ia terbentuk dari jejak sejarah yang saling menumpuk, meninggalkan pola kelembagaan yang sulit diubah meski Indonesia telah memasuki era demokrasi.

Dalam teori path dependency, perubahan sebuah institusi sangat dipengaruhi oleh jalur sejarah yang ditempuhnya. Begitu sebuah struktur terbentuk dan mengakar, institusi tersebut cenderung mempertahankan bentuk lamanya, bahkan ketika konteks politik telah berubah. Polri menjadi contoh paling relevan dari mekanisme ini. Jejak kolonial, otoritarianisme Orde Baru, dan reformasi yang setengah jalan menciptakan fondasi yang menjelaskan mengapa Polri hari ini begitu kuat bahkan melampaui pola kewenangan yang lazim dalam negara demokratis.

Pada masa kolonial, kepolisian dibangun sebagai alat kekuasaan, bukan alat pelayanan. Polisi kolonial bertugas menjaga ketertiban yang menguntungkan pemerintah penjajah, bukan melindungi warga. Logika inilah yang menjadi titik awal pembentukan kultur kepolisian sebagai instrumen pengendalian sosial.

Memasuki Orde Baru, warisan kolonial itu dipertajam dengan doktrin militeristik. Polri saat itu menjadi bagian dari struktur keamanan negara yang menempatkan stabilitas politik di atas segala bentuk kebebasan sipil. Penekanan pada kendali pusat, loyalitas hierarkis, dan penggunaan kekuasaan koersif semakin menguatkan pola organisasi yang sentralistik. Ketika Reformasi 1998 memisahkan Polri dari TNI, banyak yang berharap kultur lama akan bergeser.

Namun, yang terjadi adalah pemutus simpul kelembagaan tanpa membenahi pondasinya. Polri menjadi independen secara formal, tetapi struktur internal dan pola pengawasan tetap sama seperti era sebelumnya.
 
Gabungan dari tiga fase inilah yang menciptakan institutional lock-in, yaitu kondisi ketika sebuah organisasi terperangkap pada struktur lama dan sulit melakukan transformasi mendalam. Walaupun Indonesia telah menjadi negara demokrasi dengan pemilu terbuka, karakter internal kepolisian tidak berubah secara signifikan.

Di sinilah konsep hybrid policing yang dijelaskan oleh Neocleous menemukan relevansinya. Polri beroperasi dalam kerangka negara demokratis, tetapi kultur dan desain organisasinya masih memuat logika otoritarian, sentralistik, hierarkis, koersif, dan minim pengawasan publik. Dengan kata lain, perubahan politik tidak serta-merta melahirkan perubahan kelembagaan.

Ekspansi Digital dan Teori Surveillance Society


Shoshana Zuboff menyebut era kontemporer sebagai surveillance capitalism, sebuah fase ketika data berubah menjadi komoditas strategis sekaligus sumber kekuasaan baru. Dalam konteks negara, logika ini melahirkan struktur kekuasaan yang kian terpusat pada lembaga yang mampu mengumpulkan, mengolah, dan memanfaatkan informasi dalam skala besar.

Ketika kapasitas surveilans meningkat tanpa diikuti mekanisme pembatas yang memadai, kondisi itu melahirkan apa yang oleh sejumlah ilmuwan politik disebut sebagai informational leviathan sebuah institusi negara yang menguasai informasi secara masif namun minim kontrol.

Dalam lanskap tersebut, posisi Polri menjadi relevan untuk dicermati. Selain memiliki kewenangan penegakan hukum yang luas, lembaga ini kini mengoperasikan beragam instrumen pengawasan digital. Sistem pengenalan wajah yang terhubung dengan jaringan CCTV perkotaan, analitik media sosial untuk memetakan percakapan publik, akses besar terhadap data kependudukan nasional, serta kemampuan profiling berbasis kecerdasan buatan telah menempatkan Polri di persimpangan kekuatan fisik dan kekuatan digital sekaligus.

Kondisi ini menempatkan Polri dalam posisi yang tidak lazim, lembaga yang kuat secara fisik, kuat secara digital, tetapi lemah dalam akuntabilitas eksternal. Ketidakseimbangan tersebut membawa potensi risiko dalam demokrasi, mulai dari penggunaan data di luar mandat hukum, efek chilling terhadap kebebasan berpendapat, hingga penciptaan asimetri informasi yang memperbesar jarak antara negara dan warga.

Dampak Demokratis: Ancaman Backsliding

 
Ketidakseimbangan antara kekuatan institusi koersif dan lemahnya mekanisme pengawasan menjadi salah satu indikator utama democratic backsliding dalam berbagai kajian politik kontemporer. Sejumlah peneliti, termasuk Aspinall dan Berenschot, menegaskan bahwa demokrasi Indonesia menghadapi risiko ketika aktor-aktor negara memiliki kekuasaan yang terlalu besar dan tidak diimbangi kontrol yang memadai.

Dalam konteks ini, Polri menonjol sebagai institusi dengan kewenangan luas namun minim batasan eksternal, sehingga menempatkannya pada posisi yang sangat menentukan terhadap arah konsolidasi demokrasi.
 
Konsekuensinya terlihat pada beberapa aspek penting tata kelola demokrasi. Ketika aparat memiliki kekuasaan investigatif sekaligus fungsi pengawasan internal, prinsip rule of law melemah karena potensi konflik kepentingan sulit dihindari. Pemerintah daerah juga kehilangan daya tawar karena tidak memiliki kontrol terhadap kepolisian di wilayahnya, sementara ruang publik menyempit seiring penggunaan teknologi supervisi digital tanpa perlindungan data yang kuat.

Di tingkat politik, ketergantungan elite terhadap dukungan Polri mendorong preferensi pada stabilitas dan kooperasi, bukan akuntabilitas. Kombinasi faktor-faktor ini menggambarkan gejala kemunduran demokratis yang perlu menjadi perhatian serius dalam upaya memperkuat institusi dan memastikan keseimbangan kekuasaan.

Di sejumlah negara demokratis, fungsi-fungsi pengumpulan dan pengolahan data sensitif berada di bawah kontrol lembaga independen, seperti komisi privasi, data protection authority, atau ombudsman yang memiliki kewenangan audit dan penegakan hukum terhadap potensi penyalahgunaan.

Solusi Struktural Reformasi Sejalan Teori

 
Transformasi menuju model kepolisian yang lebih demokratis membutuhkan rekonstruksi kelembagaan yang sejalan dengan teori tata kelola keamanan modern. Sejumlah pendekatan akademik menekankan pentingnya fragmentasi kewenangan untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan, termasuk gagasan Brodeur dan Bayley mengenai pembentukan model kepolisian daerah yang memungkinkan kontrol lebih besar oleh otoritas lokal tanpa meniadakan fungsi nasional.
 
Dalam kerangka yang sama, pemisahan fungsi intelijen dari struktur kepolisian, sebagaimana ditegaskan Neocleous, menjadi langkah krusial untuk mengurangi risiko penyalahgunaan kewenangan. Reformasi ini akan memperjelas batas antara fungsi koersif dan fungsi intelijen, sehingga standar akuntabilitas dapat diterapkan secara lebih kuat.
 
Di sisi lain, penguatan mekanisme pengawasan sipil dan parlemen merupakan fondasi utama bagi akuntabilitas institusional. Komisi pengawas seperti Kompolnas perlu diberi kewenangan yang lebih substantive mulai dari pemanggilan paksa hingga kemampuan mengambil alih investigasi agar dapat menjalankan peran pengawasan secara efektif.
 
Pembentukan komite keamanan dalam negeri di DPR juga penting dalam menciptakan lapis kontrol legislatif yang lebih kokoh. Selain itu, regulasi ketat atas pengawasan digital melalui badan privasi independen diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara keamanan dan hak-hak warga, selaras dengan pandangan Zuboff mengenai urgensi perlindungan data. Keseluruhan reformasi ini harus diiringi depolitisasi kepolisian, memastikan tidak ada perwira aktif yang memegang jabatan politik, sehingga fungsi keamanan dapat berjalan netral dan profesional.
 

Demokrasi Butuh Penyeimbang

 
Polri adalah institusi penting yang tidak dapat dilemahkan. Namun kekuasaan besar membutuhkan mekanisme pembatas yang sepadan. Perbandingan internasional, teori kekuasaan kepolisian, teori pengawasan sipil, dan analisis risiko digital semuanya mengarah pada satu kesimpulan: struktur Polri saat ini terlalu kuat untuk sebuah negara demokrasi yang sehat.

Reformasi bukan tentang melemahkan lembaga, tetapi tentang menyeimbangkan kekuasaan. Jika Indonesia ingin menuju demokrasi yang matang, membenahi Polri adalah prasyarat yang tidak dapat ditawar.

*Penulis adalah pemerhati isu strategis

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Misbahol Munir)