Ilustrasi Polri. Foto: MI.
GARA-GARA kesamaan nama, Iskandar ST harus menderita. Ketua Partai NasDem Sumatra Utara itu dipaksa turun dari pesawat GA 193 rute Kualanamu-Soekarno Hatta pada Rabu (15/10) malam. Ia disangka terlibat perkara scamming-judi online.
Belakangan polisi meminta maaf karena keliru dalam bertindak, nyaris menangkap orang yang tak bersalah. Meminta maaf dalam budaya Indonesia memang suatu perbuatan mulia. Namun, menggelandang orang hanya karena kesamaan nama membuktikan ada persoalan besar di tubuh kepolisian.
Publik tentu menuntut evaluasi menyeluruh agar tindakan ini tidak terulang karena menorehkan trauma mendalam bagi korban. Tidak boleh terulang karena polisi dengan outlook belanja sebesar Rp138,5 triliun pada 2025 sudah seharusnya bertindak profesional.
Dari sisi Iskandar, sang korban, pemaksaan keluar dari kabin pesawat secara terburu-buru, tanpa verifikasi identitas yang akurat, pastilah meninggalkan luka psikologis yang sulit dihapus. Ia telah dipermalukan di ruang publik. Di hadapan penumpang lain dan awak pesawat, Iskandar terstigmatisasi dan menanggung tuduhan sebagai tersangka judi
online. Dalam hitungan menit, kehormatan pribadinya runtuh akibat kesalahan aparat dalam mencocokkan identitas.
Dari sisi aparat kepolisian, tindakan mereka yang tergesa-gesa mengidentifikasi tersangka berpotensi meruntuhkan kewibawaan institusi. Padahal, Polri sedang bersusah payah dalam memulihkan citra mereka agar dapat dipercaya oleh masyarakat.
Ilustrasi penangkapan. Foto: Medcom.id.
Lembaga survei nasional Indikator Politik Indonesia melalui survei yang dilakukan dalam kurun waktu 16-21 Januari 2025 menunjukkan rendahnya penilaian masyarakat terhadap Polri. Dari 11 lembaga negara, aparat kepolisian menghuni tiga besar urutan terbawah.
Kalau kita merunut ke belakang, peristiwa salah tangkap pernah menimpa warga Cianjur, Jawa Barat. Pria berusia 45 tahun bernama Nyanyang Suherli disergap oleh anggota Polres Cianjur pada malam 2 Juni 2025. Ia bahkan mengalami luka lebam di berbagai bagian tubuh terutama wajah.
Peristiwa itu sempat viral di media sosial. Pihak polres lalu memeriksa tujuh anggotanya. Tiga orang diduga terlibat langsung dalam penganiayaan. Baik kepolisian maupun korban kemudian sepakat berdamai. Polres Cianjur bersedia menanggung semua biaya pengobatan.
Sementara itu, kasus dugaan salah tangkap yang dilakukan oleh Polres Magelang Kota terhadap peserta unjuk rasa Agustus 2025 kembali dibawa ke ranah hukum. Demonstrasi ketika itu untuk memprotes tunjangan perumahan yang didapat anggota DPR RI.
Pada Rabu (15/10), sekitar lima orangtua korban, ditemani oleh LBH Yogyakarta, mengajukan laporan resmi ke Polda Jawa Tengah. Laporan ini merupakan lanjutan setelah sebelumnya orangtua DRP, 15, telah melaporkan penangkapan secara sewenang-wenang dan tanpa bukti.
Kembali ke insiden salah tangkap yang dialami Iskandar ST, pihak
Polri tidak cukup sekadar meminta maaf. Bidpropam Polda Sumatra Utara yang tengah memeriksa empat anggotanya harus menjatuhkan sanksi manakala secara terang benderang terjadi pelanggaran.
Harus kita katakan tindak ceroboh itu mempertontonkan lemahnya koordinasi aparat dan mencederai rasa keadilan publik. Setiap orang bisa menjadi 'Iskandar berikutnya' jika sistem verifikasi, prosedur penangkapan, dan etika profesional tidak segera diperbaiki.
Negara hukum jangan membiasakan kesalahan. Polisi dituntut bekerja dengan akurasi dan bukan prasangka belaka. Salah tangkap, sekecil apa pun alasannya adalah bentuk pelanggaran karena setiap warga negara berhak atas perlakuan yang adil dan bermartabat.
Setiap tindakan aparat di lapangan harus mencerminkan semangat melindungi warga negara, bukan malah menakut-nakuti dan menebarkan trauma. Polri punya tugas utama menegakkan hukum, jangan malah membengkokkan aturan.