Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.
NAHDLATUL Ulama kiranya patut berbangga punya Gus Kautsar (selain tentunya, Rais Syuriyah Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha dan Mustasyar PBNU Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus). Pengasuh Pondok Pesantren Al Falah Ploso Mojo, Kediri, Jawa Timur, itu amat progresif dalam menyuarakan kontekstualisasi ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai pernyataannya dalam sejumlah majelis bisa dinilai sebagai 'penjaga akal sehat'.
Pemilik nama lengkap Muhammad Abdurrahman Al Kautsar itu juga tak segan mengkritik koleganya sesama NU, bila memang orang itu perlu dikritik. Garisnya jelas, tidak abu-abu. Di media sosial, akhir-akhir ini, misalnya, ia mengkritik keras Ulil Abshar Abdalla. Gus Ulil, yang salah satu Ketua PBNU, menyebut aktivis lingkungan yang ngotot menyuarakan zero mining dan 'memulihkan ekosistem' sebagai kaum puritan, atau masuk kategori 'wahabisme lingkungan'.
Ulil menyatakan bahwa menuntut 'pengembalian ekosistem seperti semula' ialah pandangan superidealis yang tidak realistis. Kepada Iqbal Damanik, aktivis Greenpeace, dalam sebuah bincang-bincang di televisi, beberapa waktu silam, Gus Ulil bertanya, "Untuk apa mengembalikan ekosistem seperti semula? Itu tidak realistis."
Ia menganggap penolakan total terhadap tambang (atas nama lingkungan) dan ajakan mengembalikan ekosistem seperti semula terlalu ekstrem. Gus Ulil berargumen bahwa eksploitasi sumber daya alam bisa membawa kemaslahatan bila dikelola dengan benar sehingga tidak pantas dianggap jahat secara otomatis. Apalagi, lanjut dia, pemanfaatan alam itu merupakan konsekuensi bertambahnya penduduk. Namun, banyak pihak menyanggah, menunjukkan kerusakan ekologis akibat pemanfaatan ekonomi secara ekstraktif itu sudah sangat nyata sehingga sulit disebut 'ekstraksi yang bertanggung jawab'.
Termasuk dalam barisan penyanggah itu ialah Gus Kautsar. Ia mengkritik keras pernyataan Gus Ulil tentang 'untuk apa mengembalikan ekosistem seperti semula'. Secara berseloroh, Gus Kautsar bertanya, "Yang menyatakan itu masih NU apa enggak? Masih Islam apa bukan?"
Gus Kautsar lalu mengingatkan dengan mengutip sebuah hadis Nabi Muhammad untuk mempertegas kewajiban orang beragama dalam menjaga lingkungan dan merawat ekosistem. Hadis yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari itu bunyinya:
Inqaamatis saa'ah wafii yadi ahadikum fasiilah. Fainis tathaa'a 'allaa taquuma hatta yaghrisahaa falyaghrishaa (Jika kiamat tiba, sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma kecil, jika ia mampu untuk menanamnya sebelum Kiamat terjadi, hendaklah ia menanamnya).
Jelas sekali, menjaga ekosistem itu sangat penting dan wajib. "Bahkan seandanya besok kiamat tiba, sedangkan di tanganmu ada satu benih pohon, dan kamu mampu menanamnya, tanamlah. Itu wajib. Bukan malah mempersoalkan orang yang mau memulihkan ekosistem," Gus Kautsar menandaskan.
Pernyataan Gus Kautsar itu mewakili keresahan banyak orang akan rusaknya lingkungan akibat praktik perusakan lingkungan, terutama kawasan hutan, di negeri ini.
Banjir dan longsor di Sumatra ialah gambaran nyata bahwa 'manfaat ekonomi' dengan menomorsekiankan ekologi berakibat sangat fatal. Nyawa anak bangsa menjadi taruhannya.
Ilustrasi tambang. Foto: Istimewa.
Padahal, kerusakan ekologis akibat eksploitasi alam secara berlebihan masih terus terjadi. Menurut data dari analisis LSM, sekitar 2,9 juta hektare perkebunan kelapa sawit di Indonesia berasal dari konversi dari hutan alam. Lebih spesifik, beberapa survei menunjukkan ada sekitar 3,4 juta hektare kebun sawit yang berada di dalam kawasan yang secara administratif berstatus hutan. Artinya, secara de jure konsesi sawit tersebut menempati bekas hutan.
Hal itu menunjukkan konversi hutan ke sawit sangat signifikan. Fakta itu menunjukkan perkebunan sawit menjadi salah satu penyebab utama deforestasi atau alih fungsi hutan di Indonesia yang membuat hutan kehilangan daya dukungnya untuk lingkungan. Sebuah analisis satelit juga menunjukkan bahwa sejak 2001 hingga 2023, lebih dari 700 ribu hektare hutan di Indonesia telah ditebangi untuk keperluan pertambangan.
Belum lagi jika kita bicara tentang kohesi sosial yang merapuh akibat konflik lahan di seputar sawit dan tambang. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2024 saja telah terjadi 295 'letusan' konflik agraria di berbagai sektor. Sektor perkebunan menyumbang 111 kasus, dengan mayoritas merupakan konflik di sektor sawit (sekitar 67% dari kasus perkebunan). Sektor pertambangan menyumbang 41 konflik tanah pada 2024.
Data-data itu 'menampar' postulat Gus Ulil soal adanya 'ekstraksi yang bertanggung jawab' dan 'urgensi pemgembalian ekosistem'. Data-data itu juga sekaligus justifikasi bahwa kritik Gus Kautsar agar kita melakukan 'pertobatan ekologis' punya pijakan yang kuat.
Gus Kautsar tengah menjaga komitmen organisasi yang memayunginya, NU, juga segendang sepenarian dengan pernyataan ulama anutan NU, KH Mustofa Bisri alias Gus Mus. Menurut Gus Mus, jihad tidak sekadar perang, tapi juga masuk dalam substansi menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
Itu disebabkan implikasi dari rusaknya lingkungan hidup sangat parah. Pada hakikatnya kerusakan lingkungan akan berdampak pada sektor lain, misal ekonomi, sosial, dan budaya. Paling parah ialah menciptakan segregasi antara manusia dan manusia, memutuskan persaudaraan antarmanusia, serta menelantarkan dan merusak alam seperti gunung, hutan, hewan, dan segala sesuatu yang ada di ekosistem.
Gus Kautsar sedang menjalankan tugasnya sebagai muazin (pengingat waktu salat). Hanya, kali ini, ia mengingatkan kita semua tentang kewajiban menjaga ekosistem. Sehat dan waras selalu, Gus...