Gedung MK. Foto: Medcom.id.
Anggi Tondi Martaon • 8 July 2025 10:46
Jakarta: Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dengan daerah dinilai merupakan sebuah pembangkangan terhadap konstitusi. MK telah melampaui kewenangannya dalam menguji gugatan dari pemohon.
Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Abdul Chair Ramadhan menegaskan, pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji materiil tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Sehingga, hal itu merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (UU).
"Suatu norma dalam Undang-Undang yang merupakan kebijakan hukum terbuka tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi," kata Abdul melalui keterangan tertulis, Selasa, 8 Juli 2025.
Abdul menekankan suatu norma UU yang termasuk dalam kategori kebijakan hukum terbuka, maka norma tersebut berada di wilayah yang bernilai konstitusional. Dengan kata lain, sudah sesuai dengan UUD 1945.
"Penulis kutip Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, sebagai berikut: Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang," ungkap dia.
Abdul Chair menyesalkan MK telah berseberangan dengan pendapatnya sendiri dan terperangkap menjadi positive legislature. Di sisi lain, dalil pemohon ternyata bukanlah menyangkut konstitusional norma, melainkan implementasi norma.
"Tentu berbeda antara validitas norma dengan bekerjanya hukum. Demikian itu seharusnya bukan menjadi yurisdiksi Mahkamah. Menjadi pertanyaan, mengapa permohonan tersebut diterima oleh Mahkamah Konstitusi?" sebut dia.
Baca juga:
NasDem Dorong MPR Beri Original Intent Menyikapi Putusan Pemilu Terpisah |