Ilustrasi. Foto: dok MI/Sumaryanto.
Ade Hapsari Lestarini • 27 January 2025 15:41
Jakarta: Pemerintah selalu senantiasa berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) dalam mengelola pembiayaan utang Pemerintah dan mendukung operasi moneter.
Tim Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menuturkan, selama 2024, Pemerintah terus mengoptimalkan peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai shock absorber di tengah gejolak perekonomian global melalui beberapa kebijakan, antara lain:
- Kebijakan insentif tambahan berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditanggung Pemerintah (DTP) atas penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun selama periode 1 September hingga 31 Desember 2024. Insentif ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui stimulasi daya beli masyarakat di sektor perumahan.
- Kebijakan insentif PPnBM DTP Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) yang berlanjut hingga 2025. Insentif ini diberikan atas impor dan/atau penyerahan KBLBB bagi investor baru maupun produsen dalam negeri yang memiliki komitmen untuk memproduksi KBLBB di dalam negeri ke depannya.
- Kebijakan bea masuk antidumping (BMAD) atas impor produk yang harganya lebih rendah dari nilai normalnya dan menyebabkan kerugian. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi produk dalam negeri, antara lain tekstil dan besi baja.
Pemerintah telah merevisi ketentuan mengenai pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang dapat dibebankan oleh perbankan dan perusahaan pembiayaan. Kebijakan ini bertujuan untuk menyelaraskan antara perlakuan dalam konteks fiskal dan komersial dengan standar akuntansi yang berlaku sehingga memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha terkait.
Ilustrasi. Foto: dok MI
Melansir laman
Kementerian Keuangan, Senin, 27 Januari 2025, dalam rangka mendukung iklim investasi yang lebih sehat, kompetitif, dan berkeadilan. Pemerintah menerapkan kebijakan tarif PPN 12 persen hanya untuk barang mewah melalui PMK 131/2024 yang berlaku sejak Januari 2025, disertai pemberian stimulus ekonomi untuk kesejahteraan sebesar Rp38,6 triliun sebagai berikut:
- Rumah tangga: bantuan pangan sebesar 10 kg untuk 16 juta KPM selama dua bulan (Januari dan Februari) dan diskon listrik 50 persen untuk pelanggan 2.200 VA ke bawah selama dua bulan (Januari dan Februari).
- Pekerja: kemudahan akses jaminan kehilangan pekerjaan bagi pekerja yang terkena PHK.
- UMKM: perpanjangan masa berlakunya PPh final 0,5 persen bagi WP UMKM selama 2025.
- Industri Padat Karya antara lain terhadap PPh pasal 21 DTP untuk industri padat karya (tekstil, pakaian jadi, alas kaki, dan furnitur) dengan maksimal penghasilan Rp10 juta per bulan, pembiayaan industri padat karya untuk revitalisasi mesin dengan subsidi bunga lima persen, dan bantuan 50 persen untuk jaminan kecelakaan kerja pada sektor padat karya selama enam bulan.
- Mobil Listrik dan Hybrid: insentif PPN DTP 10 persen untuk KBLBB CKD, PPnBM 15 persen DTP untuk KBLBB impor CBU dan CKD, Bea Masuk nol persen untuk KBLBB CBU, dan PPnBM DTP tiga persen untuk kendaraan hybrid.
- Perumahan: PPN DTP atas penjualan rumah dengan harga hingga Rp5 miliar, untuk bagian harga sampai dengan Rp2 miliar, sebesar 100 persen (periode Januari hingga Juni 2025) dan 50 persen (periode Juli hingga Desember 2025).
Di sisi lain, berkomitmen mengatasi penggerusan basis pajak dan pergeseran laba (
base erotion and profit shifting - BEPS) melalui penerbitan PMK 136/2024 yang mengatur pengenaan pajak minimum sebesar 15 persen mulai tahun pajak 2025 bagi wajib pajak badan yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional (MNC) dengan omzet sedikitnya 750 juta euro.
"Dengan kebijakan ini, MNC akan dikenakan pajak minimal 15 persen di mana pun lokasi usahanya, sehingga tren
race to the bottom pajak dapat diminimalisasi," ujar dia.