Risiko Resesi Meningkat, Pemerintah Harus Apa?

Ilustrasi. Foto: Dok Metrotvnews.com

Risiko Resesi Meningkat, Pemerintah Harus Apa?

Insi Nantika Jelita • 6 May 2025 19:01

Jakarta: Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufiqurrahman menilai pemerintah gagal mengoptimalkan ruang fiskal di tengah perlambatan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya mencapai 4,87 persen pada kuartal I-2025. Kondisi ini dianggap semakin mengkhawatirkan jika melihat kontraksi ekonomi secara kuartalan yang minus 0,98 persen.

"Angka ini menjadi indikator teknikal resesi terjadi, apabila tren ini berlanjut pada kuartal berikutnya. Pemerintah tampak gagal mengoptimalkan ruang fiskal," ujar Rizal kepada Media Indonesia, Selasa, 6 Mei 2025.

Alih-alih mendorong belanja negara secara ekspansif untuk menstimulasi perekonomian, Rizal menuturkan pemerintah justru menerapkan konsolidasi fiskal di tengah melemahnya permintaan domestik. 

Hal ini diperparah oleh pertumbuhan investasi yang hanya mencapai 2,1 persen, mencerminkan menurunnya kepercayaan investor terhadap arah kebijakan ekonomi nasional.
 

Baca juga: 

Pertumbuhan Ekonomi Sulit Capai 5%, Pemerintah Perlu Lompatan Strategis



(Ilustrasi. Foto: Dok Metrotvnews.com)

Dampak perang dagang

Di sisi eksternal, dampak lanjutan dari ketegangan perdagangan global, terutama retaliasi tarif dari Amerika Serikat dan perlambatan ekonomi Tiongkok, telah mulai mereduksi kinerja ekspor Indonesia.

"Akibatnya, struktur pertumbuhan ekonomi nasional menjadi semakin rapuh dan rentan terhadap guncangan eksternal," ujar dia.

Rizal menegaskan apabila pemerintah terus mengandalkan narasi optimisme tanpa diiringi kebijakan konkret untuk mendorong produktivitas, memperluas pasar ekspor nontradisional, dan mempercepat realisasi belanja infrastruktur produktif, maka risiko resesi bukan lagi bersifat spekulatif.

"Tetapi, semakin nyata dan bersifat sistemik," imbuhnya.

Marak gelombang PHK

Dia menambahkan gejala krisis struktural juga terlihat dari gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang membesar sejak awal 2025. Tercatat lebih dari 24 ribu pekerja kehilangan pekerjaan hingga April 2025. Sebagian besar dari sektor industri pengolahan, sektor yang selama ini menjadi tulang punggung penciptaan lapangan kerja nasional.

Dengan peningkatan jumlah pengangguran menjadi 7,28 juta orang, Rizal menilai seharusnya mendorong pemerintah untuk mengubah pendekatan kebijakan ketenagakerjaan, dari reaktif menjadi proaktif.

Ini termasuk mempercepat program pelatihan ulang tenaga kerja (reskilling), serta menyediakan insentif fiskal yang mendukung reindustrialisasi dan penciptaan lapangan kerja ramah lingkungan dan berbasis digital.

'Sayangnya, program vokasi masih stagnan dan adopsi kebijakan sosial berbasis produktivitas berlangsung lambat" ungkap dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)