Juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto. Medcom/Candra
Candra Yuri Nuralam • 3 October 2024 09:23
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan rasuah dalam pengadaan lahan di Rorotan, Jakarta Utara. Satu saksi dipanggil penyidik pada Rabu, 2 Oktober 2024.
“Saksi hadir dan didalami terkait proses perencanaan pembelian tanah rorotan dan penganggarannya,” kata juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto melalui keterangan tertulis, Kamis, 3 Oktober 2024.
Tessa cuma mau memerinci inisial saksi itu, yakni SL. Berdasarkan informasi yang dihimpun, saksi tersebut ialah mantan Senior Manajer Divisi Umum dan SDM Perumda Pembangunan Sarana Jaya Sri Lestari.
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih,” ujar Tessa.
KPK enggan memerinci jawaban saksi itu kepada penyidik kemarin. Informasi lengkap baru dibuka dalam persidangan.
KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yaitu Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan, Direktur Pengembangan Perumda Pembangunan Sarana Jaya Indra S Arharrys, Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada Donald Sihombing, Komisaris Totalindo Eka Persada Saut Irianto Rajagukguk, dan Direktur Keuangan Totalindo Eka Persada Eko Wardoyo.
Kasus ini bermula ketika Perumda Pembangunan Sarana Jaya ingin berinvestasi soal pengadaan lahan pada 2019 sampai 2021. Saat itu, PT Totalindo Eka Persada menawarkan lahan kepada perusahaan pelat merah tersebut.
Tanah yang ditawarkan seluas 11,7 hektare. Harga yang dibuka yakni Rp3,2 juta per meter persegi.
Kesepakatan awal yakni lahan mau dibeli Perumda Sarana Jaya dengan harga Rp3 juta per meter per segi. Harga itu disepakati tanpa melakukan kajian internal lebih dulu.
Penawaran itu tidak mengartikan Perumda Sarana Jaya membeli lahan dengan harga lebih murah. Sebab, kata Asep, harga lahan sekitaran lokasi hanya Rp2 juta per meter persegi.
Ketidaknormalan harga itu sudah diketahui Yoory. Tapi, kata Asep, dia malah meminta data dari KJPP diabaikan.
Total, Perumda Sarana Jaya menyepakati Rp371,5 miliar untuk pembelian lahan dengan PT Totalindo Eka Persada. Padahal, lahan itu sejatinya milik PT Nusa Kirana Real Estate.
Negara ditaksir merugi Rp223,8 miliar atas permainan kotor itu. Data itu didapatkan dari laporan investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya.
Dalam kasus ini, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.