BNPT: 112 Anak Indonesia Terpapar Radikalisme Lewat Game Online

Konpers Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Foto: Metro TV/Ardhan Anugrah.

BNPT: 112 Anak Indonesia Terpapar Radikalisme Lewat Game Online

Ardhan Anugrah • 30 December 2025 17:42

Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan ancaman serius radikalisme yang menyasar anak-anak Indonesia melalui ruang digital. Sepanjang tahun 2025, tercatat sebanyak 112 anak terpapar paham radikal melalui media sosial hingga permainan daring (game online).

"Sepanjang tahun 2025, Densus 88 sudah menangkap beberapa jaringan terorisme maupun simpatisan asal Daulah yang berkembang kepada ISIS dan juga 112 anak yang terradikalisasi di sosial media maupun game online," ujar Kepala BNPT Komjen (Purn) Eddy Hartono di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta, Selasa, 30 Desember 2025.
 



Eddy memaparkan data Satgas Kontraradikalisasi yang melibatkan BNPT, Bais TNI, Kementerian Komdigi, hingga BSSN. Tercatat ada 21.199 konten bermuatan intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang tersebar di berbagai platform sepanjang tahun ini.

"Meta (Facebook dan Instagram) sebanyak 14.314 konten, kemudian TikTok sebanyak 1.367 konten, dan X sebesar 1.220 konten," rinci Eddy.

Menurutnya, proses radikalisasi di era digital jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan metode konvensional. Kecepatan paparan paham radikal kini meningkat berkali-kali lipat karena kemudahan akses di ruang siber.

"Dibandingkan dulu ketika proses radikalisasi secara konvensional membutuhkan waktu 2-5 tahun, sekarang dengan media online atau ruang digital itu hanya butuh waktu 3-6 bulan," tegas Eddy.

Mantan Kepala Densus 88 ini menjelaskan bahwa proses terpapar dimulai dari interaksi sederhana seperti likes, share, dan durasi tontonan (watch time). Algoritma platform kemudian akan terus menyuguhkan konten serupa hingga korban mulai percaya pada narasi tersebut.


Konpers Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Foto: Metro TV/Ardhan Anugrah.

Fenomena ini dikenal sebagai digital grooming, di mana calon korban diisolasi setelah rasa percaya terbangun. Setelah tertarik, mereka biasanya diarahkan untuk melakukan baiat mandiri sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam grup percakapan tertutup.

"Tahap memastikan atau menanam kepercayaan, ketika sudah dapat grooming-nya, baru ditarik isolasi masuk ke dalam grup sosial media, baik itu Instagram maupun WhatsApp. Nah, di situlah baru dimainkan namanya normalisasi perilaku," pungkas Eddy.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Fachri Audhia Hafiez)