Ilustrasi. Foto: Medcom
Candra Yuri Nuralam • 25 October 2024 11:35
Jakarta: Miscarriage of justice atau peradilan yang tidak tepat, dalam penanganan perkara korupsi Mardani Maming disorot. Sebab, pidana terhadap mantan Bupati Tanah Bumbu itu terkesan dipaksakan, karena alat bukti dinilai tak memadai.
“Bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok adalah tidak dipenuhinya hak atas fair trial. Hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan," ujar aktivis hak asasi manusia Todung Mulya Lubis, dalam keterangannya, Jumat, 25 Oktober 2024.
Menurut dia, hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de auditu). Sesuai, dengan dakwaan penuntut umum, ketimbang mempertimbangkan alat bukti lain yang menyatakan hal sebaliknya.
"Sikap berat sebelah seperti ini jelas merupakan unfair trial. Jika alat bukti yang ada dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut umum tidaklah terbukti," kata dia.
Todung juga menjelaskan bahwa hakim memaksakan konstruksi hukum dalam peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi. Hal itu supaya dapat menyimpulkan terpenuhinya unsur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
“Pemaksaan konstruksi hukum yang paling terlihat adalah menjadikan keuntungan dan pembagian hasil usaha sebagai pemberian hadiah,” kata Todung.
Pemaksaan, kata dia, dilakukan hakim dengan menyatakan bahwa keuntungan dari hasil usaha sama dengan pemberian hadiah. Todung melihat hakim melakukan analogi dalam proses itu.
"Padahal, analogi merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas-yang merupakan prinsip paling mendasar dalam hukum pidana," ujar dia.
Di sisi lain, Todung menegaskan bahwa korupsi memang masalah serius di Indonesia. Namun, tak berarti penanganannya serampangan.
"Ketika ada miscarriage of justice dalam penanganan perkara, termasuk perkara korupsi maka seharusnya terdakwa dinyatakan bebas. Untuk itu, langkah korektif menjadi suatu keniscayaan,” kata Todung.
Menurut dia, proses hukum peninjauan kembali dapat menjadi opsi melakukan koreksi. Dia berharap
Mahkamah Agung dalam proses peninjauan kembali bisa benar-benar menyoroti miscarriage of justice yang terjadi, dan mengoreksinya.
"Untuk itu, saya akan menyiapkan sebuah amicus curiae berkenaan dengan perkara ini untuk saya kirimkan kepada Mahkamah Agung di pekan depan,” tutup Todung.