Pemerintah Indonesia Kudu Cermat Hadapi Tekanan Tarif Trump

Ilustrasi. Foto: Metrotvnews.com/Dhana Kencana.

Pemerintah Indonesia Kudu Cermat Hadapi Tekanan Tarif Trump

Insi Nantika Jelita • 13 July 2025 08:39

Jakarta: Anggota Komisi XI DPR RI Putri Anetta Komarudin meminta pemerintah bersikap cermat dalam merespons kebijakan Amerika Serikat (AS) terkait potensi penambahan tarif impor sebesar 10 persen terhadap produk Indonesia. Tambahan tarif ini terkait dengan keanggotaan Indonesia dalam BRICS, di luar tarif umum sebesar 32 persen yang diumumkan. 

"Pemerintah harus sangat cermat dan hati-hati dalam mendiskusikan negosiasi ini," ujar Putri dalam program Kontroversi bertajuk Tarif Kejam Trump yang disiarkan di YouTube Metro TV, dikutip Minggu, 13 Juli 2025.

Putri menyebut Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi. Seperti mineral kritis yakni nikel, kobalt, dan tembaga yang amat dibutuhkan AS untuk pengembangan industrinya. Karena itu, menurutnya, pendekatan yang rasional dan terukur harus diutamakan.

Menanggapi permintaan AS, dia menegaskan pentingnya menjaga keberlangsungan industri dalam negeri. Selain itu, ada dampak lebih luas dari kenaikan tarif impor AS, yang tidak hanya akan menekan sektor industri padat karya.  Tetapi, juga berpotensi mengguncang nilai tukar rupiah dan stabilitas pasar keuangan nasional.

"Kita mesti mendiskusikan ini dengan kepala dingin, dan tidak perlu ketakutan berlebihan. Yang penting, kedaulatan dan kepentingan nasional tetap terjaga," tegas Politikus Partai Golkar itu.

Di satu sisi, pemerintah juga diminta mengoptimalkan sejumlah perjanjian dagang yang sedang berjalan, seperti dengan negara-negara Eurasia, Tunisia, hingga mempercepat perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).

"Ini harus segera kita percepat agar Indonesia tidak terus bergantung pada pasar Amerika Serikat untuk ekspor," jelas Putri. 

Namun demikian, dia menekankan sebelum upaya diversifikasi pasar dapat dioptimalkan, proses negosiasi dengan AS harus menjadi prioritas utama.

Selain itu, pemerintah diharapkan segera merealisasikan insentif-insentif yang pernah dijanjikan untuk pelaku usaha guna mengurangi dampak awal dari penerapan tarif baru yang direncanakan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025. Langkah strategis lainnya yang mendesak untuk dilakukan adalah percepatan diversifikasi pasar ekspor.
 

Baca juga: Gara-gara Tarif Trump, AS Catat Surplus Anggaran USD27 Miliar pada Juni


(Presiden AS Donald Trump menunjukan daftar negara-negara dengan besar tarif yang dikenakan. Foto: EPA-EFE/KENT NISHIMURA/POOL)
 

Bukan ancaman besar, masyarakat jangan panik


Direktur eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menyampaikan publik tidak perlu khawatir secara berlebihan dalam menghadapi kenaikan tarif impor Negara Paman Sam.

Menurutnya, kebijakan tersebut memang berdampak, tetapi tidak serta-merta menjadi ancaman besar. Proses negosiasi dengan AS disebut belum berakhir, dan tidak bisa dikatakan sudah selesai dengan adanya tarif 32 persen.

"Kita tidak perlu terlalu panik atau melihat ancaman itu terlalu besar. Negosiasi adalah keniscayaan. Tidak mungkin ketika Trump menyampaikan kebijakan yang berpotensi mengancam kita, lantas kita hanya diam. Kita harus merespons dengan cermat," ucap dia.

Piter menerangkan proses negosiasi dengan AS harus terus dilanjutkan dengan berbagai upaya strategis yang memungkinkan, meskipun tidak mungkin dilakukan secara instan. Salah satu opsi yang disebut-sebut adalah membangun pabrik di AS sebagai respons terhadap permintaan Trump. 

Wacana itu dianggap masuk akal lantaran Indonesia memiliki kemampuan untuk berinvestasi di luar negeri karena sumber dayanya memadai dan investornya sudah aktif di berbagai negara. "Tapi tentu, investasi seperti itu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat," katanya.

Piter kemudian menjelaskan kebijakan tarif tinggi tersebut pada akhirnya akan menjadi beban bagi masyarakat AS sendiri. Kenaikan tarif akan membuat harga barang-barang impor, termasuk dari Indonesia, menjadi lebih mahal di pasar AS. Akibatnya, beban justru akan ditanggung oleh konsumen Amerika, bukan Indonesia secara langsung.

Namun demikian, Indonesia tetap akan merasakan dampak tidak langsung, yakni kelangsungan industri padat karya nasional, utamanya bidang tekstil. Ketika harga barang menjadi mahal di pasar AS, berdampak pada penurunan permintaan produksi.

"Ketika permintaan itu kecil, maka ada penurunan produksi di Indonesia. Dampaknya, penyerapan tenaga kerja kita turun," jelas Piter.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)