Rupiah dan dolar AS. Foto: dok MI.
Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pembukaan perdagangan awal pekan ini mengalami penguatan, meski tipis.
Mengutip data Bloomberg, Senin, 2 Juni 2025, rupiah pada pukul 09.15 WIB berada di level Rp16.316,5 per USD. Mata uang Garuda tersebut menguat tipis 10 poin atau setara 0,06 persen dari Rp16.326,5 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.295 per USD. Rupiah masih stagnan dari penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada hari ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan kembali menguat.
"Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp16.240 per USD hingga Rp16.300 per USD," ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
Ketidakpastian perdagangan
Ibrahim mengungkapkan, ketidakpastian atas perdagangan Amerika Serikat (AS) dan kesehatan fiskal, dengan fokus pada lebih banyak kesepakatan perdagangan AS dan kemajuan RUU pemotongan pajak yang memecah belah yang didukung oleh Trump.
"Trump selama akhir pekan mengatakan dia akan menunda rencana untuk mengenakan tarif perdagangan 50 persen pada Uni Eropa (UE) hingga awal Juli," papar Ibrahim.
Juli juga merupakan saat
tarif timbal balik Trump terhadap sejumlah ekonomi utama akan mulai berlaku, meskipun perubahan haluannya baru-baru ini pada tarif UE memicu harapan Presiden AS tidak akan memenuhi ancaman tarif lainnya.
Data kepercayaan konsumen AS yang kuat juga meningkatkan risiko dan meredam kekhawatiran atas ekonomi AS. Fokus sekarang adalah pada isyarat lebih lanjut mengenai ekonomi AS dalam beberapa hari mendatang, dari sejumlah pembicara Federal Reserve, serta risalah rapat terakhir Fed, yang akan dirilis pada Rabu.
Kemudian, Presiden AS Donald Trump mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin 'bermain api', dan Trump sedang mempertimbangkan sanksi baru terhadap Rusia. Hal ini dapat membahayakan aliran energi Rusia dan mengganggu pasokan minyak global.
"Selain itu, AS dan Iran mengakhiri putaran kelima perundingan nuklir mereka pada Selasa, yang hanya mengalami kemajuan terbatas, dan ketidaksepakatan mengenai pengayaan uranium tetap menjadi pokok perdebatan. Jika mereka tidak dapat mencapai kesepakatan, AS dapat menekan ekspor Iran lebih lanjut, sehingga menekan pasokan," tutur Ibrahim.
(Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Susanto)
Indonesia bakal kesulitan capai target pertumbuhan
Di sisi lain, Ibrahim memandang Indonesia akan kesulitan mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,0 persen pada kuartal II-2025 seiring dengan gelontoran stimulus yang lebih menyasar masyarakat kelas bawah. Enam paket stimulus pemerintah di kuartal II-2025 yang mayoritas menyasar masyarakat kelas bawah merupakan respons atas tekanan daya beli dan risiko kemiskinan yang kembali meningkat.
"Fokus ke masyarakat kelas bawah memang penting dalam menjaga stabilitas sosial dan menjamin akses kebutuhan dasar. Namun, masyarakat kelas menengah berkontribusi sebesar lebih dari 50 persen terhadap total konsumsi nasional berdasarkan distribusi pendapatan," terang dia.
Minimnya stimulus untuk masyarakat kelas menengah bukan sekadar kehilangan peluang pertumbuhan, tetapi justru menambah risiko perlambatan ekonomi. Masyarakat kelas menengah adalah tulang punggung konsumsi domestik. Jumlah masyarakat kelas menengah cukup besar, yang akan menjadi penggerak utama berbagai sektor perekonomian.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi sesuai target akan sulit dicapai tanpa intervensi kebijakan yang secara spesifik menyasar kelas menengah dengan jumlah dan durasi yang sesuai , misalnya lewat bantuan sosial tunai atau subsidi. Apalagi, ekonomi domestik masih menghadapi tekanan global dan pelemahan ekspor, sehingga ketergantungan pada konsumsi domestik semakin besar.
"Seiring dengan hal tersebut, pemerintah harus menyusun strategi pemulihan ekonomi yang lebih seimbang. Apalagi perlindungan bagi masyarakat bawah memang krusial, tetapi pemerintah juga tidak bisa mengabaikan potensi kelas menengah sebagai motor pertumbuhan," jelas Ibrahim.