Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani. Foto: dok istimewa
Insi Nantika Jelita • 18 September 2025 11:47
Jakarta: Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menekankan penurunan suku bunga acuan atau BI Rate tidak otomatis langsung memengaruhi penurunan suku bunga pinjaman riil bagi pelaku usaha.
Ia menyebut transmisi kebijakan moneter masih berjalan lambat. Ini karena perbankan cenderung berhati-hati dalam menyalurkan kredit dan mempertahankan tingkat bunga relatif tinggi.
Dengan fokus menjaga kualitas kredit dan rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL), bank disebut lebih selektif membiayai sektor usaha, terutama yang berisiko, sehingga pertumbuhan kredit modal kerja semakin tertekan.
"Sehingga, penurunan BI Rate tidak serta-merta langsung tercermin pada suku bunga pinjaman riil yang diterima pelaku usaha," ungkap Shinta kepada Media Indonesia, dikutip Kamis, 18 September 2025.
Baca juga:
Suntikan Rp200 Triliun ke Himbara Bakal Bikin Perekonomian Ngegas |
Menurut dia, tanpa dukungan insentif dari pemerintah untuk mendorong sektor keuangan menurunkan bunga pinjaman dan mempercepat distribusi kredit ke sektor riil, dampak positif kebijakan moneter akan sangat terbatas. Apalagi saat ini pelaku usaha menghadapi tekanan ganda, yakni lemahnya permintaan akibat daya beli yang tertekan, serta tingginya biaya pendanaan.
Dalam kondisi ini, efisiensi menjadi keharusan, namun inovasi dan ekspansi sulit dilakukan tanpa pelonggaran beban finansial. Situasi tersebut ikut menahan business confidence atau kepercayaan bisnis, dan menghambat pemulihan ekonomi secara lebih luas.
Dunia usaha, lanjut Shinta, berharap tren pelonggaran suku bunga dapat diikuti langkah paralel dari pemerintah agar bunga pinjaman nasional bisa mendekati bahkan lebih rendah dari rata-rata ASEAN.
"Hal ini penting terutama bagi sektor padat karya, manufaktur, dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang sangat sensitif terhadap biaya pendanaan," tegas dia.
Penurunan bunga kredit dianggap menjadi kunci untuk mendorong ekspansi usaha, penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan daya saing. Selain itu, dunia usaha juga mendorong percepatan reformasi struktural untuk mengatasi tingginya biaya produksi dan operasional perusahaan.
Reformasi ini, jelas Shinta, mencakup penyederhanaan perizinan, pemberian insentif fiskal, hingga perbaikan pasar tenaga kerja, agar Indonesia tetap kompetitif dalam menarik investasi di tengah dinamika global.
“Intinya, dunia usaha butuh oksigen untuk tumbuh. Oksigen itu adalah likuiditas yang terjangkau, kepastian regulasi, dan kemudahan berusaha," tutur dia.
Jika pemerintah konsisten menjaga iklim usaha, menurunkan biaya struktural, dan memperkuat konsumsi, maka kombinasi kebijakan moneter dan fiskal yang ada saat ini akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.