Anggota DPRD Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth. Dok. Istimewa
Achmad Zulfikar Fazli • 20 July 2025 10:45
Jakarta: Rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada 2026 disorot. Anggota DPRD Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth, menilai kebijakan ini harus dikaji lebih dalam agar tidak membebani masyarakat, khususnya warga berpenghasilan rendah.
Kenneth memahami tantangan pembiayaan BPJS Kesehatan cukup besar. Namun, jangan sampai hal ini berdampak signifikan terhadap warga Jakarta, terutama peserta mandiri kelas menengah ke bawah, jika tidak ada skema subsidi atau kompensasi yang jelas dari pemerintah.
"Jika iuran naik, maka layanan harus ikut membaik. Jangan hanya membuat suatu program yang ujung-ujungnya malah membebani rakyat tanpa ada perbaikan yang nyata. Peserta BPJS mandiri yang pasti akan merasakan dampak langsung, terutama bagi kelas pekerja informal atau keluarga dengan penghasilan pas-pasan. Biaya kesehatan yang semula terjangkau bisa menjadi beban baru dalam pengeluaran bulanan," tegas Kenneth dalam keterangannya, dilansir pada Minggu, 20 Juli 2025.
Menurut Kent, dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut, banyak peserta aktif yang akan berhenti karena terbebani dengan kenaikannya.
"Masyarakat yang merasa terbebani bisa menunggak iuran atau bahkan berhenti sebagai peserta aktif. Hal ini justru akan mengurangi kepesertaan aktif dan memperburuk rasio iuran terhadap klaim BPJS Kesehatan," beber Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta itu.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, sebelumnya mengakui pihaknya ikut dalam skenario pembahasan kenaikan iuran, namun bukan menjadi pihak yang memberikan putusan final. Dia menyebut diskusi soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan terus dilaksanakan, meskipun angka kenaikannya belum disepakati. Sebab, kebijakan itu ada di tangan pemerintah.
Menurut Kent, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta harus ikut bersuara dan bersikap dalam pembahasan kebijakan nasional ini, mengingat Jakarta memiliki jumlah peserta JKN yang sangat besar, termasuk yang ditanggung dalam skema Penerima Bantuan Iuran (PBI). Dia tak ingin masyarakat yang sudah tertib membayar justru makin terbebani karena kenaikan iuran ini.
"Dan jika tidak diimbangi dengan perbaikan layanan dan fasilitas yang lebih baik, peserta bisa merasa dirugikan karena harus membayar lebih mahal tapi tetap harus antre panjang atau mendapat layanan yang seadanya. Kepercayaan terhadap sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bisa menurun. Perlu adanya pembicaraan serius antar Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat soal ini dan juga harus di pikirkan terkait dampak fiskalnya juga," beber Ketua Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI PPRA Angkatan LXII itu.
Kent meminta BPJS Kesehatan lebih transparan dalam menyampaikan kondisi keuangan, termasuk penggunaan dana dan efisiensi operasional. Menurut dia, keterbukaan ini penting agar publik tidak curiga, kenaikan iuran hanya disebabkan buruknya tata kelola.
"Sebelum kebijakan ini diputuskan, DPRD DKI akan mendorong adanya forum dengar pendapat dengan pihak BPJS Kesehatan, Kemenkes, dan stakeholder lainnya. Kami ingin ada kejelasan dan kepastian hukum yang melindungi Hak Warga Jakarta," tutur dia.
Menurut Kent, dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), keberlangsungan pelayanan kesehatan sangat bergantung pada kemitraan yang baik antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit. Sehingga, pelayanan kesehatan yang adil dan berkualitas dapat tercapai.
"Perhatian khusus ini bukan berarti memihak, melainkan membina, mendukung, dan mengawasi agar pelayanan terhadap peserta JKN berlangsung optimal. Jika BPJS Kesehatan mengabaikan peran rumah sakit, maka yang akan dirugikan bukan hanya institusi kesehatan, tetapi juga ratusan juta rakyat Indonesia yang menggantungkan harapan pada sistem JKN," ujar Kepala BAGUNA DPD PDIP DKI Jakarta ini.
Kent meminta BPJS Kesehatan lebih aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait rencana kenaikan iuran JKN. Banyak warga Jakarta, khususnya di wilayah padat penduduk dan masyarakat berpenghasilan rendah, yang belum mendapat informasi memadai tentang kebijakan tersebut. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan kebingungan, bahkan potensi tunggakan iuran yang lebih tinggi di kemudian hari.
"Kalau iuran naik tanpa sosialisasi yang cukup, masyarakat bisa merasa dibebani tanpa tahu alasannya. Ini bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap program jaminan sosial itu sendiri," tegas dia.
Selain itu, Kent meminta BPJS Kesehatan untuk lebih gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait jenis penyakit dan layanan kesehatan yang ditanggung dan tidak ditanggung oleh program JKN. Banyak warga Jakarta yang merasa bingung, bahkan kecewa, ketika layanan atau pengobatan tertentu tidak dijamin BPJS karena kurangnya informasi.
"Masyarakat perlu tahu sejak awal, penyakit apa yang ditanggung, obat apa yang diberikan, dan kapan harus dirujuk. Jangan sampai baru tahu setelah ditolak atau harus bayar mandiri di rumah sakit. Ini bukan hanya soal teknis, tapi menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap sistem jaminan kesehatan kita. Sosialisasi harus jadi prioritas," beber dia.
Kent menegaskan pemerintah pusat dan daerah, termasuk Pemprov Jakarta, memiliki tanggung jawab untuk memastikan kebijakan ini tidak hanya menjadi beban baru, tetapi justru menjadi langkah menuju sistem jaminan kesehatan yang lebih kuat, transparan, dan berkelanjutan. Dia meyakini masyarakat tidak menolak membayar lebih, asalkan dibarengi dengan layanan yang lebih baik, sistem yang lebih adil, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.
"Suara warga Jakarta harus menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan. Kenaikan iuran tidak boleh sekadar hitung-hitungan fiskal, tapi harus menjadi cerminan dari keberpihakan negara terhadap hak dasar rakyat yang memang juga di atur di Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat 1, yaitu kesehatan yang layak untuk semua warga negara," kata dia.
Pemerintah pusat belum mengumumkan secara resmi besaran kenaikan iuran maupun waktu pasti pemberlakuannya. Peraturan Presiden (Perpres) baru yang akan menjadi dasar hukum perubahan iuran masih dalam proses finalisasi.