Podium Media Indonesia: Macan Kertas Pertimbangan MK

Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. (Ebet)

Podium Media Indonesia: Macan Kertas Pertimbangan MK

Media Indonesia • 21 July 2025 07:33

ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.

Pemohon yang dimaksud ialah Juhaidy Rizaldy Roringkon, Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (Ildes). Ia menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) perihal wamen merangkap jabatan dalam perkara nomor 21/PUU-XXIII/2025.

Juhaidy meninggal dunia pada 22 Juni 2025 dan MK memutuskan perkaranya pada 17 Juli 2025. Amar putusannya ialah permohonan pemohon tidak bisa diterima.

Tidak diterimanya permohonan almarhum Juhaidy membuat tetap langgenglah kontroversi rangkap jabatan 30 dari 56 wamen dalam Kabibet Merah Putih. Mereka merangkap jabatan komisaris perusahaan pelat merah.

Rangkap jabatan, termasuk rangkap pendapatan, wamen menimbulkan kecemburuan para menteri, termasuk Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar. “Nah, gara-gara wamen-wamen jadi komisaris, kita ngiler juga, kan. Jadi mikir, kira-kira bisa seperti mereka, enggak, nasib ini? Kira-kira dapil masih aman apa enggak? Kira-kira begitu. Wamen-wamen ini luar biasa, tetapi itu soal rezeki,” kata Muhaimin pada 14 Juli 2025.
 

Baca Juga: 

Putusan Lengkap MK Melarang Wamen Rangkap Jabatan


Juhaidy menguji konstitusionalitas Pasal 23 UU 39/2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 23 itu berbunyi, 'Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBNdan/atau APBD'.

Rangkap jabatan wamen, kata Junaidy dalam sidang 5 Mei 2025, bertentangan dengan Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang secara tegas melarang rangkap jabatan wakil menteri. Namun, larangan tersebut tidak diimplementasikan pemerintah dan pihak-pihak terkait karena penegasan itu hanya terdapat dalam pertimbangan hukum, bukan amar putusan.

'Dengan status demikian, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri', demikian pertimbangan hukum halaman 96 Putusan 80/2019.

Pengabaian terhadap putusan tersebut, kata pemohon, salah satunya didasarkan pada alasan bahwa amar putusan dari perkara tersebut 'tidak dapat diterima' dan tidak menyatakan ketentuan terkait dengan larangan rangkap jabatan tersebut inskonstitusional.

Larangan wamen merangkap jabatan dalam Putusan 80/2019 tidak dicantumkan dalam amar putusan. Karena itulah, Junaidy memohon agar larangan rangkap jabatan wamen itu masuk amar putusan, bukan cuma ada dalam pertimbangan hukum putusan.

Alasan itu pula yang dipakai Istana Negara. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi pada 3 Juni 2025 mengatakan penugasan sejumlah wamen di jajaran komisaris BUMN itu tidak menyalahi aturan, termasuk Putusan MK 80/2019.

Dalam Putusan 80/2019, kata Hasan, larangan rangkap jabatan hanya berlaku pada menteri karena disebut secara eksplisit dalam putusan. Namun, larangan untuk wamen hanya ada di bagian pertimbangan putusan sehingga bisa disimpulkan bahwa rangkap jabatan diperbolehkan untuk mereka.

Benarkah pertimbangan hukum putusan MK tidak mengikat? MK memosting sikap resmi mereka di aplikasi X pada 22 Agustus 2024. 'Pertimbangan hukum dan amar putusan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. MK pernah menegaskan hal tersebut dalam Putusan MK No 76/PUU-XX/2022. Jadi, #Courmin mau ngingatin nih, mari pahami putusan MK dengan utuh, tidak terpisah-pisah! Seperti konstitusi yang tak terpisahkan dari suatu negara!'.
 
Baca Juga: 

MK Tolak Gugatan UU Kementerian soal Rangkap Jabatan Menteri sebagai Pengurus Parpol


Halaman 38 Putusan 76/2022 menyebutkan putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya berupa amar putusan, tetapi juga terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan, bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sehingga dapat saja MK memberikan perintah (judicial order) di dalam bagian pertimbangan hukum yang harus dilaksanakan juga oleh addressat putusan MK.

Putusan MK memang bersifat final, tetapi banyak yang tidak aplikatif. Penelitian Herdiansyah Hamzah untuk disertasinya di UGM (2023) menemukan hanya 52% dari putusan MK yang dilaksanakan dengan baik oleh DPR dan pemerintah. Dengan kata lain, banyak putusan MK yang diabaikan.

Tindakan tidak menaati putusan, menurut Putusan MK Nomor 32/PUU-XVIII/2020, ialah pembangkangan terhadap putusan MK yang juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.

Terang benderanglah sudah, walau sudah disebut dengan tegas bahwa putusan MK final dan mengikat, fakta empiris memperlihatkan tidak seluruh putusan final dan mengikat itu dapat memengaruhi DPR dan pemerintah. Kelemahan utamanya ialah MK tidak memiliki unit eksekutor yang bertugas menjamin aplikasi putusan final itu.

Kontroversi wamen merangkap jabatan komisaris masih terus berlanjut sepanjang larangan itu tidak ada dalam amar putusan MK. Kekuatan larangan yang hanya tertuang dalam pertimbangan hukum putusan MK ternyata hanyalah macan kertas.

(Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)